Jumat, 14 Februari 2020

173 PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA DAN I'TIKAF (36-38)


36.   Hukum Wanita Hamil Dan Menyusui Ketika Puasa Ramadhan
wanita hamil wajib untuk berpuasa, begitupun wanita yang menyusui. semua mereka termasuk dalam khitob allah yang terkandung didalam Q.S Al-baqarah ayat 183.
hanya saja apabila wanita hamil atau menyusui khawatir dengan keadaan bayinya atau dia tidak kuat untuk berpuasa maka islam memberikan keringanan kepadanya untuk berbuka dan tidak berpuasa. Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda:
« إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ ».
Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui”. (H.R Tirmidzi 715, Nasa’I 2274, Abu Daud 2408, Ibnu Majah 1667. Imam Tirmidzi mengatakan hadits anas bin malik al-ka’biy adalah hadits hasan).
Dan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ سُفْيَانَ ، عَنْ أَيُّوبَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَوِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ تُفْطِرُ ، وَلاَ تَقْضِي
Artinya:  Dari Ibnu Abbas atau Ibnu Umar ia berkata: Wanita hamil dan menyusui ia berbuka (memberi makan orang miskin) dan tidak mengqodho'.(H.R. Darul quthni no 2384)
Perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama adalah jika wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa, apakah wajib atasnya mengqadha’ ataukah cukup baginya membayar fidyah saja?
Jawabanya adalah:
ini perbedaan pendapat ulama:
Pertama: Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Said bin Jubair menyatakan diperbolehkannya membayar fidyah saja tanpa harus mengqodha'. ini berdasarkan atsar yang kami sebutkan diatas.
Kedua : Jika ia khawatir puasa dapat membahayakan kesehatan anaknya saja dan tidak membahayakan dengan kesehatannya sendiri, maka:
-    Imam Syafi'I berkata:  boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha'. Selain itu, sebaiknya juga membayar fidyah.
-    Imam Hanafi berkata: harus qadla dan tidak diperbolehkan membayar fidyah saja.
Faedah:
kadar atau takaran fidyah yaitu satu mud (makanan pokok setempat) untuk satu hari. Jadi jika seseorang meninggalkan puasa sebanyak 7 hari, ia mempunyai tanggungan 7 mud. Satu mud sama dengan 675 gram, atau yang mencukupi dua kali makan satu orang (sahur dan buka). Boleh juga dibayarkan berupa uang, dihargai sesuai harga pasar setempat. tapi harus dilengkapi dengan biaya lauk pauknya. ukuran makanan tingkat menengah.
37.   Hukum Wanita Istihadhoh dibulan Ramadhon
Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat yang pecah/putus, yang keluarnya bukan pada masa adat haid dan nifas -dan ini kebanyakannya-, tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas. Karena dia adalah darah berupa penyakit, maka dia tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya. Karena itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti keluar sama sekali dan kadang berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam sebulan. [Lihat: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas wa Al-Istihadhah hal. 16-17]
Wanita yang mengalami istihadah tidak sama dengan yang mengalami haid atau nifas. karena darah istikhadhoh adalah darah penyakit. maka itu tidak menjadikan wanita untuk merasa takut atau ragu untuk ibadah seperti puasa haji dan sebagainya. bahkan tidak boleh baginya untuk meninggalkan ibadah hanya karena mengalami istihadhoh, ini berdasarkan sabda rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي رَجَاءٍ قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ قَالَ : سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ عُرْوَةَ قَالَ : أَخْبَرَنِي أَبِي ، عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ فَقَالَ : لاَ, إِنَّ ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي.
Artinya: “ Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, sesungguhnya Fatimah binti abi hubaisy bertanya kepada rasulullah shollallahu alaihi wasallam: sesungguhnya saya istihadhoh, maka saya tidak suci, apakah saya harus meninggalkan shalat? maka rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam menjawab: Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat (pada rahim) yang terbuka, akan tetapi tinggalkan shalat seukuran engkau biasa mengalami haid kemudian mandilah (haid) dan shalatlah (HR. Al Bukhari no 306, 320, 331, 228).
jadi, wanita yang istihadahoh tetap harus melaksanakan shalat, puasa dan haji serta yang lainya: juga boleh digauli oleh suaminya.

Wanita Yang Mengalami Istihadah Ada Tiga Keadaan :
Pertama: Dia Memiliki Massa Haid Yang Jelas Sebelum Istihadhah.
Maka kondisi yang seperti ini dikembalikan kepada masa haidnya yang sudah diketahui pada massa sebelum dia istihadhah dan di luar hari hari yang biasa dia mengalami haid, berlaku padanya hukum wanita yang istihadhah.
Fatimah bintu Abi Hubaisy berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya aku mengalami istihadhah dan tidak pernah suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat? beliau menjawab:
“ Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat (pada rahim) yang terbuka, akan tetapi tinggalkan shalat seukuran engkau biasa mengalami haid kemudian mandilah (haid) dan shalatlah (HR. Al Bukhari).
Kedua:Tidak Memiliki Kebiasaan Haid Yang Jelas Sebelum Istihadhah.
Apabila dia tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas sebelum dia mengalami istihadhah, karena istihadhah itu berlangsung terus menerus sejak awal keluar darah darinya.
Maka pada kondisi yang seperti ini dia beramal dengan perbedaan kondisi darah yang keluar tersebut. dimana haidnya diperhitungkan dengan kondisi darah yang berwarna kehitaman, atau kental atau baunya yang dengan itu berlaku padanya hukum – hukum haid. Adapun jika cirinya tidak seperti itu maka di hukumi darah istihadhah sehingga berlaku padanya hukum – hukum istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda nabi kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy :
Artinya: “ jika darah itu haid, maka sesungguhnya darahnya kehitaman dan dikenali. Jika demikian kondisi darahnya maka tahanlah dirimu dari melakukan shalat. Sedangkan jika kondisi darahnya tidak demikian , maka berwudhulah dan shalatlah karena sesungguhnya itu hanyalah dari urat (rahim) yang terbuka (HR. Abu Dawud dam An Nasa’I dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim)
pada sanad dan matannya hadist ini ada kelemahan, akan tetapi para ulama telah beramal dengan hadist tersebut. dan yang demikian lebih utama daripada mengembalikan hukum wanita yang kondisinya seperti ini kepada adat / kebiasaan keumuman wanita.
Ketiga:  Seorang Yang Tidak Memiliki Masa Haid Yang Jelas Juga Dan Tidak Ada Perbedaan Kondisi Perbedaan Darah Yang Jelas Pula.
Seperti seorang yang mengalami istihadhah terus menerus sejak pertama kali keluar darah, sedangkan sifat darahnya sama atau sifatnya kacau, sehingga tidak mungkin di hukumi sebagai darah haid. Kondisi ini di berlakukan padanya kondisi haid keumuman wanita.
Contoh dalam masalah ini : seorang melihat darah terus keluar pada hari kelima bulan tersebut. kemudian darah terus keluar tanpa ada perbedaan sifat darah yang jelas untuk bisa dihukumi sebagai darah haid, tidak dari sisi warnanya tidak pula yang lainya. Maka haid dihitung setiap bulan selama enam atau tujuh hari. Dalilnya adalah hadist Hamnah bintu Jahsyin dia berkata :
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali. Bagaimana menurutmu? Aku telah terhalang dengan sebab itu dari menuaikan shalat dan puasa”. Beliau berkata : “aku akan tunjukan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk menutup kemaluanmu karena dia akan menutup aliran darahmu” dia berkata : darah tersebut terlalu deras. Kemudian di hadist tersebut Nabi bersabda : “sesungguhnya darah tersebut tendangan – tendangan syaitan, maka massa haidmu enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah” (HR.Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Di nukilkan bahwasannya Imam Ahmad menshahihkanya dan Al Bukhari menghasankannya)”

38.   Hukum Perempuan Yang Minum Pel Agar Terlambat Haid Di Bulan Ramadhon
Haram hukumnya menggunakan pel atau obat ramuan untuk mencegah haid datang pada waktunya. atau untuk terlambat haid. dalil keharamanya adalah:
Pertama: Menyalahi ketentuan Allah. haid merupakan kelaziman bagi wanita dewasa yang normal, dan sudah menjadi ketentuan Allah, datang sesuai dengan yang telah ditentukan Allah, maka jika ada yang sengaja menjadikanya terlambat dari kebiasaan waktu datangnya, sungguh ia telah menyalahi qodrat Allah Azza Wajalla, Rasulullanh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
وَحَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. رواه البخاري ( 315  ( ومسلم ( 335 (
Artinya: Dari Mu'adzah Radhiyallahu Anha ia berkata, Aisyah Radhiyallahu Anha pernah ditanya Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah? “ Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat”. (HR. Bukhari 315 dan Muslim no. 335)
kedua: Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah menyuruh para istrinya atau para istri orang-orang yang beriman untuk meminum obat terlambat haid ketika ibadah-ibadah penting, seperti haji atau puasa. bahkan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan pad mereka bahwa itu termasuk sunnatullah untuk kaum hawa, dan bagi merka yang datang haid atau nifas, diberi keringanan khusus dalam beribadah. seperi tidak bolehnya sholat dan puasa, juga tawaf. seperi yang dijelaskan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam dalam haditsnya:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : لاَ نَذْكُرُ إِلاَّ الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا سَرِفَ طَمِثْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا أَبْكِي فَقَالَ مَا يُبْكِيكِ قُلْتُ لَوَدِدْتُ وَاللَّهِ أَنِّي لَمْ أَحُجَّ الْعَامَ قَالَ لَعَلَّكِ نُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ ذَلِكَ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي.
Artinya:  “Kami keluar (dari Madinah), tidak ada yang kami tuju kecuali untuk berhaji. Maka ketika kami berada di tempat yang bernama Sarif, aku haid. Rasulullah SAW masuk menemuiku yang ketika itu sedang menangis. Maka beliau bersabda : ‘Ada apa denganmu, apakah engkau ditimpa haid?’ Aku menjawab : ‘Ya.’ Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang Allah tetapkan atas anak-anak perempuan keturunan adam. Kerjakanlah sebagaimana layaknya orang berhaji. Akan tetapi, janganlah engkau melakukan thawaf di Baitullah.’ (HR. Bukhari no. 305 dan Muslim no. 1211)
Ketiga: menimbulkan mudhotar bagi kesehatan wanita itu sendiri. dijelaskan oleh para ulama kedokteran bahwa minum obat terlambat haid bias menimbulkan gangguan didalam kesehatan wanita itu. maka hal ini jelas dilarang oleh Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ ، عَنْ عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : لاَ ضَرَرَ وَلاَ إِضْرَارَ.([1])
Artinya: “Janganlah kamu melakukan tindakan yang membahayakan dirimu dan orang lain.” ([2])
Hadits ini menunjukkan bahwa semua bentuk perbuatan yang membahayakan harus dihilangkan dan tidak boleh di kerjakan, karena Rosululloh mengungkapkannya dengan bentuk penafian, yang  mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan. (Lihat Al Wajiz hal : 252)
“Hadits ini mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan, karena kalimat dengan bentuk nakiroh kalau jatuh setelah lafadl penafian menunjukkan keumuman.” (Lihat Faidlul Qodir 6/431)
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mendapatkan haid di bulan yang mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, jika saya mendapatkan haid maka saya akan kehilangan pahala yang amat besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haid karena saya telah bertanya kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haid itu tidak membahayakan diri saya?
Beliau menjawab: “Saya katakan kepada wanita-wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haid di bulan Ramadhan, bahwa haid yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haid itu mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haid : “Artinya : Sesungguhnya haid itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum wanita”. Maka kepada wanita ini kami katakan, bahwa haid yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya ke dalan bahaya, sebab kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang dokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akan memperburuk kondisi janin wanita hamil.”
Jadi, hukum minum pel atau obat terlambat haid adalah haram, baik itu dibulan ramadhon ataupun diluar bulan ramadhan.  wallahu a'lam


([1])  Ibnu Majah no 2341, Baihaqi 10/133, Ahmad 1/313, Daruquthni 4/228, Hakim 2/57 dan beliau mengatakan shohih menurut syarat Imam Bukhori Muslim dan disepakati oleh Imam Dzahabi, Malik 2/745, Abu Dawud dalam Marosil hal : 44 dan lainnya dengan sanad hasan dari jalan beberapa sahabat Rosululloh  diantaranya adalah Ubadah bin Shomith, Ibnu Abbas, Abu Sa’id al Khudri, Abu Huroiroh, Jabir bin Abdillah, Aisyah, Tsa’labah bin Abi Malik al Qurodli dan Abu Lubabah Rodliyallohu anhum ajma’in. (Lihat Takhrij hadits ini secara lengkap dalam Jami’ Ulum wal Hikam oleh Imam Ibnu Rojab hadits no : 32)
-     Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al-Qawini (Ibn Majah) Sunan Ibn majah, Dar al-Fikr, (Bairut), (tth), Juz VI, h. 88
-     Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al-Qawini (Ibn Majah) Sunan Ibn majah, Dar al-Fikr, (Bairut), (tth), Juz VI, h. 88
-     Abu ‘Abd Allah Ahmad bin Hanbal (Ahmad Bin Hanbal), Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Maktabah al-Islami, Bairut 1398 H=1978 M, Juz VII, h. 95
-     Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abi Âmir bin Amru bin Al Harits bin ghailân bin Hasyat bin Amru bin Harits (Malik), Sunan Imam Malik, Dar al-Fikr, (Bairut), (tth), Juz VI, h. 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar