Jumat, 14 Februari 2020

173 PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA DAN I'TIKAF(3-4)


 3.   Sejarah Turun Syari'at Puasa
Pertama kali disyari'atkan  Puasa Ramadhan adalah pada tanggal 10 Sya’ban 2 H,  yaitu setelah  perintah penggantian kiblat dari masjidil Al-Aqsha ke Masjid Al-Haramdan mulai saat itulah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan  dan mewajibkan kepada para sahabatnya (ummatnya). Beliau berpuasa selama hidupnya sebanyak sembilan kali.
Syari'at Puasa Ramadhon turun secara bertahap yaitu sebanyak tiga tahap. Ini seperti yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullahu ta'ala didalam kitabnya Zadul Ma’ad kitabus shiyam jilid 2 halaman 20 :
Tahap Pertama : Bersifat takhyir (pilihan(. Ini berdasarkan firman Allah 'Azza Wajalla:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Artinya:  Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan  shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” (Q.S Al-Baqarah 184)
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah : Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir) serta mampu menjalankan  puasa, maka diberikan pilihan antara menunaikan puasa atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”(([1])
Tahap Kedua     : Bersifat Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang melakukan puasa  kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya (Lihat Hadits Bukhari Nomor   yang ada di tahap ketiga) .
Tahap Ketiga  : yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya. Inilah Berdasarkan Hadits Yang diriwayatkan Al Barra’ Ibnu 'Azib:
عَنِ الْبَرَاءِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ ، وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ الإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا أَعِنْدَكِ طَعَامٌ قَالَتْ لاَ وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ ، وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ خَيْبَةً لَكَ فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا وَنَزَلَتْ {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ}.
Artinya : Dari Al-bara' Radhiyallahu 'Anhu, Ia berkata: "Dahulu Shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam  jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” – dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)-  Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Artinya: "Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.”
dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
 Artinya: "Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”([2])

 
4.   Rukun Puasa
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:
Pertama: Hanafiyah dan Hanabilah.
Menurut kedua madzhab ini puasa hanya memiliki satu rukun saja, yaitu: Menahan makan, minum, jima’ dengan isteri pada siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Kedua: Malikiyah. Adapun paasa memiliki dua rukun yaitu:
1.      Menahan makan, minum, jima’ dengan isteri pada siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْل
Artinya: “Dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, lalu sempurnakanlah puasa itu sampai malam” (QS. Al-Baqarah:187).
2.      Niat,
عَنْ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ »
Artinya: “Barangsiapa yang tidak beniat (puasa Ramadhan) sejak malam, maka tidak ada puasa baginya” (HR. Abu Dawud Nomor 2456).
Ketiga: Syafi’iyyah: Adapun paasa memiliki Tiga rukun yaitu:
1.      Menahan makan, minum, jima’ dengan isteri pada siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
2.      Niat
3.      Faham tentang maksud puasa yang dilakukan.
Lalu Mana Yang Rojih?
Yang rojih adalah pendapatnya Hanafiyah dan Hanabilah. bahwa puasa hanya memiliki satu rukun saja, yaitu: Menahan makan, minum, jima’ dengan isteri pada siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Adapun Niat dan Faham tentang maksud puasa yang dilakukan adalah termasuk syarat wajib bukan rukun puasa. Wallahu A’lam.


([1])  Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, hal. 180 (Surat Al-Baqarah ayat 184)
([2])  Al-Bukhari (1915); Tirmidzi (2968), An-nasa'I (2168), Abu Daud (2314), Ibnu Hibban (3460), Ad-darimi (1693).
Lihat juga Tafsir Ibnu Katsir (II/281) dalam menafsirkan QS Al-Baqarah : 183 -185.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar