28. Ukuran Perjalanan Yang Diperbolehkan
Ifthor (Berbuka)
Ulama berbeda pendapat
dalam masalah Ukuran Perjalanan Yang
Diperbolehkan Ifthor (Berbuka) atau qoshor
dan jama' shalat shalat:
Pertama: Pendapat
Pertama: Imam Malik, Imam Asy-Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya
mengatakan minimal berjarak 4 burud . Atau setara dengan 48 mil hasyimi. Jarak
4 burud ini pun oleh sebagian ulama dihitung secara berbeda. Ada yang
mengatakan 81 km sebagaimana Anda mengatakannya. Ada juga yang mengatakan 89 km
atau tepatnya 88,704. ([1])
Kedua: Sebahagian ulama’ berpendapat bahwa jarak
perjalanan yang dibolehkan mengqasarkan shalat dan Ifthor (Berbuka puasa) 83 kilometer.
ketiga: adzohiriyah.sesuai dengan adat yang berlaku.
yaitu jika dia melakukan perjalanan yang menurut adat sudah disebut sebagai safar
maka dia telah melakukan safar meskipun jaraknya baru sampai 75
kilometer. Adapun jika perjalanannya menurut adat belum dikatakan safar
meskipun jaraknya 100 kilometer, maka dia belum disebut safar.
Pendapat terakhir inilah yang
dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taymiyah rahimahullah. Yang demikian
ini adalah kerana Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
menentukan jarak tertentu untuk dibolehkan melakukan qasar.[ Syaikh Muhammad
bin Shalih al-‘Utsaimin, Majmu’’ Fatawa Solusi Problematika Umat Islam
Seputar Aqidah dan Ibadah : Bab Ibadah, (edisi terjemahan oleh Furqan
Syuhada, Qosdi Ridwanullah dan Irwan Raihan, Pustaka Arafah, Solo, 2002) ms.
412-413. Selepas ini buku ini akan disebut sebagai “Majmu’’ Fatawa : Bab
Ibadah”.]
Ibnu qudamah berkata: madzhab abu abduallah imam ahmad
bin hambal yaitu sesungguhnya tidak boleh qoshor shalat yang perjalananya
kurang dari 16 farsakhan. 1 farsakh= 3 km berarti 16 farsakahn= 3x16 km=48 km ([2])
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
sebenarnya tidak pernah meletakkan had batasan yang memperbolehkan kita
mengqasarkan sembahyang. apabila jarak yang ditempuh itu menurut kebiasaan
dinamakan sebagai safar maka diperbolehkan untuk ifthor ataupun qoshar shalat.
wallahu 'alam
29. Kapan Musafir Mulai Diperbolehkan Ifthor,
Sebelum Safar Atau Setelah Memulai
Perjalananya?
Musafir mulai
diperbolehkan ifthor apabila betul-betul ia telah melakukan perjalanan. Jika ia
masih dirumahnya atau ditempat tinggalnya, ia belum melakukan perjalanan maka
dia pada saat itu belum diperbolehkan untuk membuka puasanya atau mengqoshor
shalatnya.
Karena illat dari
membuka puasa (ifthor) atau qoshar shalat adalah safar. Jika illatnya belum
terwujud maka hukumnya juga belum terwujud.
Permasalahan ini
termasuk didalam pembahasan qaidah ulama usuliyyin:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Artinya: hukum itu akan
terus bergantung pada illatnya, ada atau tidak adanya.
Maksudnya adalah ada
illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum. Maka oleh karena itu kita
akan katakan ada safar maka ada ifthor dan qoshar shalat, tidak ada safar maka
tidak ada ifthor dan qoshar shalat. Ini semua tercakup didalam firman allah
'Azza wajalla:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (Q.S Al-baqarah ayat 184)
Didalam ayat ini jelas
diterangkan bahwa orang yang diperbolehkan berbuka adalah yang telah melakukan
perjalanan yaitu sedang dalam perjalanan. Bukan yang belum atau hendak
melakukan perjalanan. Karena kadang seorang yang ingin melakukan perjalanan
gagal dikarenakan hal-hal tertentu. Maka oleh karena itu baru diperbolehkan
untuk berbuka puasa setelah terwujudnyan safar.
30.Berapa Lama Diperbolehkan Musafir Untuk
Ifthor
(Tidak
Berpuasa Tetapi menggantinya Dihari Lain)?
Para ulama berbeda
pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir
dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat berbuka puasa, hal ini
diungkapkan oleh syekh Wahbah
az-Zuhaili didalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu:
PERTAMA: Mazhab Hanafi: (batas maksimal adalah
15 hari)
Tetap boleh shalat Qashar hingga menjadi mukim,
tidak boleh qashar shalat jika berniat mukim di suatu negeri selama 15 hari
lebih. Jika berniat mukim selama itu, maka mesti shalat normal. Jika berniat kurang
daripada itu, maka shalat qashar.([3])
Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibnu
‘Umar radhiyallahu anhuma, Said bin Jubair dan Al-Laits bin Sa’ad, berdasarkan
apa yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibnu Umar dan sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
anhum bahwasanya keduanya berkata: “Jika kamu telah sampai (ditempat tujuan)
dan dalam dirimu (ada niat) untuk menetap di sana selama lima belas malam maka
sempurnakanlah shalat”. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Said ibnul
Musayyib.([4])
KEDUA: Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’I, Madzhab Hambali: (batas maksimal adalah 4 hari)
Jika orang yang musafir itu berniat menetap
empat hari, maka ia shalat secara normal, karena Allah membolehkan shalat
Qashar dengan syarat perjalanan. Orang yang mukim dan berniat mukim tidak
dianggap melakukan perjalanan. ([5])
-
Mazhab
Maliki mengukur kadar mukim tersebut dengan 20 shalat. Jika kurang dari itu,
boleh shalat Qashar.
-
Mazhab
Maliki dan Syafi’I tidak menghitung hari masuk dan hari keluar, menurut
pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’I, karena yang pertama adalah hari
meletakkan barang-barang dan yang kedua adalah hari keberangkatan, kedua hari
tersebut hari kesibukan dalam perjalanan.
Berkata
Syaikhuna Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin rahimahullah:
“Pendapat yang rajih (benar dan kuat) adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu bahwasanya musafir adalah tetap musafir selama tidak berniat salah satu dari dua perkara:
“Pendapat yang rajih (benar dan kuat) adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu bahwasanya musafir adalah tetap musafir selama tidak berniat salah satu dari dua perkara:
1.
Tinggal secara mutlak.
2. Menetap.
Perbedaan keduanya adalah:
Orang yang menetap adalah orang yang berniat
menjadikan tempat tersebut sebagai negeri tempat tinggalnya.
Dan orang yang tinggal secara mutlak adalah orang yang datang ke sebuah negeri lalu melihat bahwa kegiatan di negeri tersebut pesat atau menuntut ilmu di sana cukup kuat kemudian ia berniat tinggal secara mutlak tanpa menentukan batasan waktu atau pekerjaan, akan tetapi niatnya ia mukim karena negeri tersebut membuatnya tertarik disebabkan banyaknya ilmu atau pesatnya perniagaan atau karena ia adalah seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan sebagai duta besar misalnya, maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya safar, karena ia telah berniat menetap, sehingga kami katakan, ‘hukum safar telah terputus baginya’.
Dan orang yang tinggal secara mutlak adalah orang yang datang ke sebuah negeri lalu melihat bahwa kegiatan di negeri tersebut pesat atau menuntut ilmu di sana cukup kuat kemudian ia berniat tinggal secara mutlak tanpa menentukan batasan waktu atau pekerjaan, akan tetapi niatnya ia mukim karena negeri tersebut membuatnya tertarik disebabkan banyaknya ilmu atau pesatnya perniagaan atau karena ia adalah seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan sebagai duta besar misalnya, maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya safar, karena ia telah berniat menetap, sehingga kami katakan, ‘hukum safar telah terputus baginya’.
Adapun orang yang membatasi tinggalnya dengan suatu
pekerjaan yang akan selesai (maksudnya pekerjaan akan selesai dalam jangka
waktu tertentu) atau waktu yang akan selesai (maksudnya waktunya telah
ditentukan dan telah diketahui batasnya), maka ini adalah tetap musafir dan
tidak terlepas darinya hukum-hukum safar”. [As-Syarhul Mumti' 'Ala Zaadil
Mustaqni', karya Syaikhuna Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin,
jilid 4 hlm 378].
Yang Rojih adalah apabila seseorang
melakukan perjalanan maka selama ia dalam perjalanan itu boleh ifthor atau
qashar shalat.
kemudian apabila sudah sampai tujuan, maka:
-
jika ia berniat muqim ditujuannya itu maka boleh ia
qashar shalat sampai 4 hari, setelah itu dia harus melakukan shalat seperti
biasa, dan tidak boleh lagi ifthor.
-
jika ia belum tau berapa lama ia akan tinggal
ditujuanya itu maka boleh baginya untuk mengqashar shalat dan ifthor sampai ia
jelas tempat tinggalnya.
dalilnya adalah:
-
Sahabat Jabir
radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat.
(HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih).
-
Sahabat Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar
shalat.(HR. Bukhari)
وقال أنس
بن مالك رضي الله عنه : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ . رواه مسلم (691(
Tidak ada komentar:
Posting Komentar