Jumat, 14 Februari 2020

173 PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA DAN I'TIKAF (28-30)


28.   Ukuran Perjalanan Yang Diperbolehkan Ifthor (Berbuka)
Ulama berbeda pendapat dalam masalah Ukuran Perjalanan Yang Diperbolehkan Ifthor (Berbuka) atau qoshor  dan jama' shalat shalat:
Pertama: Pendapat Pertama: Imam Malik, Imam Asy-Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud . Atau setara dengan 48 mil hasyimi. Jarak 4 burud ini pun oleh sebagian ulama dihitung secara berbeda. Ada yang mengatakan 81 km sebagaimana Anda mengatakannya. Ada juga yang mengatakan 89 km atau tepatnya 88,704. ([1])
Kedua: Sebahagian ulama’ berpendapat bahwa jarak perjalanan yang dibolehkan mengqasarkan shalat dan Ifthor (Berbuka puasa) 83 kilometer.
ketiga:  adzohiriyah.sesuai dengan adat yang berlaku. yaitu jika dia melakukan perjalanan yang menurut adat sudah disebut sebagai safar maka dia telah melakukan safar meskipun jaraknya baru sampai 75 kilometer. Adapun jika perjalanannya menurut adat belum dikatakan safar meskipun jaraknya 100 kilometer, maka dia belum disebut safar.
Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taymiyah rahimahullah. Yang demikian ini adalah kerana Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menentukan jarak tertentu untuk dibolehkan melakukan qasar.[ Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Majmu’’ Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Aqidah dan Ibadah : Bab Ibadah, (edisi terjemahan oleh Furqan Syuhada, Qosdi Ridwanullah dan Irwan Raihan, Pustaka Arafah, Solo, 2002) ms. 412-413. Selepas ini buku ini akan disebut sebagai “Majmu’’ Fatawa : Bab Ibadah”.]
Ibnu qudamah berkata: madzhab abu abduallah imam ahmad bin hambal yaitu sesungguhnya tidak boleh qoshor shalat yang perjalananya kurang dari 16 farsakhan. 1 farsakh= 3 km berarti 16 farsakahn= 3x16 km=48 km ([2])
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebenarnya tidak pernah meletakkan had batasan yang memperbolehkan kita mengqasarkan sembahyang. apabila jarak yang ditempuh itu menurut kebiasaan dinamakan sebagai safar maka diperbolehkan untuk ifthor ataupun qoshar shalat. wallahu 'alam


 
29.      Kapan Musafir Mulai Diperbolehkan Ifthor,
      Sebelum Safar Atau Setelah Memulai Perjalananya?


Musafir mulai diperbolehkan ifthor apabila betul-betul ia telah melakukan perjalanan. Jika ia masih dirumahnya atau ditempat tinggalnya, ia belum melakukan perjalanan maka dia pada saat itu belum diperbolehkan untuk membuka puasanya atau mengqoshor shalatnya.
Karena illat dari membuka puasa (ifthor) atau qoshar shalat adalah safar. Jika illatnya belum terwujud maka hukumnya juga belum terwujud.
Permasalahan ini termasuk didalam pembahasan qaidah ulama usuliyyin:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Artinya: hukum itu akan terus bergantung pada illatnya, ada atau tidak adanya.
Maksudnya adalah ada illat ada hukum, tidak ada illat tidak ada hukum. Maka oleh karena itu kita akan katakan ada safar maka ada ifthor dan qoshar shalat, tidak ada safar maka tidak ada ifthor dan qoshar shalat. Ini semua tercakup didalam firman allah 'Azza wajalla:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (Q.S Al-baqarah ayat 184)
Didalam ayat ini jelas diterangkan bahwa orang yang diperbolehkan berbuka adalah yang telah melakukan perjalanan yaitu sedang dalam perjalanan. Bukan yang belum atau hendak melakukan perjalanan. Karena kadang seorang yang ingin melakukan perjalanan gagal dikarenakan hal-hal tertentu. Maka oleh karena itu baru diperbolehkan untuk berbuka puasa setelah terwujudnyan safar.




30.Berapa Lama Diperbolehkan Musafir Untuk Ifthor
      (Tidak Berpuasa Tetapi menggantinya Dihari Lain)?

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat berbuka puasa, hal ini diungkapkan oleh syekh Wahbah az-Zuhaili didalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu:
PERTAMA: Mazhab Hanafi: (batas maksimal adalah 15 hari)
Tetap boleh shalat Qashar hingga menjadi mukim, tidak boleh qashar shalat jika berniat mukim di suatu negeri selama 15 hari lebih. Jika berniat mukim selama itu, maka mesti shalat normal. Jika berniat kurang daripada itu, maka shalat qashar.([3])
Pendapat ini diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, Said bin Jubair dan Al-Laits bin Sa’ad, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah ibnu Umar dan sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhum bahwasanya keduanya berkata: “Jika kamu telah sampai (ditempat tujuan) dan dalam dirimu (ada niat) untuk menetap di sana selama lima belas malam maka sempurnakanlah shalat”. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Said ibnul Musayyib.([4])
KEDUA: Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’I, Madzhab Hambali: (batas maksimal adalah 4 hari)
Jika orang yang musafir itu berniat menetap empat hari, maka ia shalat secara normal, karena Allah membolehkan shalat Qashar dengan syarat perjalanan. Orang yang mukim dan berniat mukim tidak dianggap melakukan perjalanan. ([5])
-     Mazhab Maliki mengukur kadar mukim tersebut dengan 20 shalat. Jika kurang dari itu, boleh shalat Qashar.
-     Mazhab Maliki dan Syafi’I tidak menghitung hari masuk dan hari keluar, menurut pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’I, karena yang pertama adalah hari meletakkan barang-barang dan yang kedua adalah hari keberangkatan, kedua hari tersebut hari kesibukan dalam perjalanan.
Berkata Syaikhuna Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-’Utsaimin rahimahullah:
“Pendapat yang rajih (benar dan kuat) adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu bahwasanya musafir adalah tetap musafir selama tidak berniat salah satu dari dua perkara:
1.      Tinggal secara mutlak.
2.      Menetap.
Perbedaan keduanya adalah:
Orang yang menetap adalah orang yang berniat menjadikan tempat tersebut sebagai negeri tempat tinggalnya.
Dan orang yang tinggal secara mutlak adalah orang yang datang ke sebuah negeri lalu melihat bahwa kegiatan di negeri tersebut pesat atau menuntut ilmu di sana cukup kuat kemudian ia berniat tinggal secara mutlak tanpa menentukan batasan waktu atau pekerjaan, akan tetapi niatnya ia mukim karena negeri tersebut membuatnya tertarik disebabkan banyaknya ilmu atau pesatnya perniagaan atau karena ia adalah seorang pegawai pemerintah yang ditugaskan sebagai duta besar misalnya, maka hukum asal dalam hal ini adalah tidak adanya safar, karena ia telah berniat menetap, sehingga kami katakan, ‘hukum safar telah terputus baginya’.
Adapun orang yang membatasi tinggalnya dengan suatu pekerjaan yang akan selesai (maksudnya pekerjaan akan selesai dalam jangka waktu tertentu) atau waktu yang akan selesai (maksudnya waktunya telah ditentukan dan telah diketahui batasnya), maka ini adalah tetap musafir dan tidak terlepas darinya hukum-hukum safar”. [As-Syarhul Mumti' 'Ala Zaadil Mustaqni', karya Syaikhuna Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, jilid 4 hlm 378].
Yang Rojih adalah apabila seseorang melakukan perjalanan maka selama ia dalam perjalanan itu boleh ifthor atau qashar shalat.
kemudian apabila sudah sampai tujuan, maka:
-     jika ia berniat muqim ditujuannya itu maka boleh ia qashar shalat sampai 4 hari, setelah itu dia harus melakukan shalat seperti biasa, dan tidak boleh lagi ifthor.
-     jika ia belum tau berapa lama ia akan tinggal ditujuanya itu maka boleh baginya untuk mengqashar shalat dan ifthor sampai ia jelas tempat tinggalnya.
dalilnya adalah:
-     Sahabat Jabir radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih).
-     Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat.(HR. Bukhari)


([1] ) lihat kitab Bidayatul Mujtahid bagian tahkiknya, juga di dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili halaman 1343
([2] ) Rasulullah bersabda:
وقال أنس بن مالك رضي الله عنه : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ . رواه مسلم (691(
([3])  Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri dan Al-Muzani. Menurut Ibnul Mundzir ini juga pendapat sahabat Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma.
([4] ) Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, jilid 3 hlm 148
([5] ) ini disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, jilid 4 halaman 244.
Menurut Al-Imam An-Nawawi ini juga pendapat sahabat Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, Said ibnul Musayyib, Imam Malik dan Abu Tsaur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar