Jumat, 14 Februari 2020

173 PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA DAN I'TIKAF (24-27)


24.   Hukum Mengucapkan Niat Dengan Lisan
Niat adalah kehendak hati untuk melakukan sesuatu. Dan niat letaknya di hati tidak perlu di lafadzkan (ucapkan) bahkan hal ini termasuk perkara yang di ada-adakan dalam agama kita. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya:“ Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang baru di dalam urusan (agama) kami ini apa yang tidak termasuk di dalamnya maka amalannya tertolak. “(HR. Muslim no 1718)
Syekh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berkata: “Niat  tempatnya di hati, tidak ada tempatnya dilisan pada seluruh amalan; oleh karena ini barangsiapa yang  mengucapkan niat  ketika ingin shalat,  atau puasa atau haji atau wudhu atau yang selain dari itu dari amaln-amalan ibadah, maka termasuk ucapan yang bid’ah dalam agama yang bukan bagian darinya.” (Syarh Riyadhis shaliin : 13)
Ibnu Abil ’Izz Al-Hanafi Rahimahullah Berkata: (Tidak seorangpun dari para imam yang empat, tidak imam Syafie atau yang lainnya menyaratkan pelafalan niat karena niat tempatnya dalam hati berdasarkan kesepakatan mereka, kecuali sebagian ulama mutaakhirin dari mereka yang mewajibkan pelafalan niat dan mengeluarkan satu sisi pendapat dalam madzhab imam Syafie? Imam Nawawi rahimahullah berkata: Dan itu keliru. Selesai. Karena telah didahului dengan ijma’) Lihat kitab Al-Itba’ hal:62.
Imam Nawawi rahimahullah -ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- juga berkata:  “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)
Dikatakan dalam kitab Al-Qaulul Mubin karangan Syeikh Masyhur bin Hasan hafidhahullah: "Sungguh telah keliru Abu Abdullah Az-Zubairi rahimahullah dari kalangan madzhab Syafiiyah ketika menukil dari Imam Syafie rahimahullah sehingga mengeluarkan satu sisi pendapat dari perkataan Imam dengan sangkaan bahwa beliau mewajibkan pelafalan niat dalam shalat." Dan sebab kekeliruan beliau adalah kurang memahami perkataan Imam Syafie karena perkataan beliau secara nas adalah: ((apabila berniat untuk haji dan umrah maka sudah cukup, meskipun tidak melafalkan, dan tidak seperti shalat yang tidak sah kecuali dengan melafalkan)) [Al-Majmu’ 3/243].
Jadi kesimpulannya bahwa melafalkan niat tidak disyariatkan dan itu merupakan perkara yang baru yang harus kita hindari.

25.   Apakah Niat Harus Dilakukan Setiap Hari?
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini:
Pertama: Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa cukup satu niat saja pada awal bulan Ramadhan sebagaimana puasa (2 bulan) berturut-turut pada kafarah jima’ di bulan Ramadhan, kafarah pembunuhan dan dzihar, selama ia tidak bersafar, sakit atau keadaan yang membolehkan tidak berpuasa seperti haid dan nifas maka wajib memulai niat baru. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad dan mayoritas pengikutnya seperti Abul Wafa’ bin ‘Aqiil.
Pendapat ini menyatakan niat digabung dalam satu bulan karena bulan ramadhan merupakan suatu kesatuan ibadah. Mereka berdalil dengan hadits rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam:
حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al-Bukhari no 53, 5070 dan Muslim hadits no1907)

Kedua : Jumhur ulama
berpendapat bahwa setiap harinya (di bulan Ramadhan) adalah ibadah yang berdiri sendiri dan membutuhkan niat khusus di setiap harinya. Dampaknya jika sesorang yang mukallaf tidur pada bulan Ramadhan atau pada puasa kafarah, tidurnya sebelum  tenggelamnya matahari dan bangun setelah subuh, maka menurut pendapat pertama sah puasanya sedangkan menurut pendapat kedua puasanya tidak sah karena ia tidak berniat di malam hari, dan pendapat yang rajih adalah pendapat pertama.”[[1]]
Syekh utsaimin pernah ditanya:
السؤال: هل كل يوم يصام في رمضان يحتاج إلى نية أم تكفي نية صيام الشهر كله؟
Soal: apakah seseorang yang berpuasa bulan ramadhan harus berniat disetiap hari atau cukup niat satu kali di awalnya saja?
 الإجابة: يكفي في رمضان نية واحدة من أوله، لأن الصائم وإن لم ينو كل يوم بيومه في ليلته فقد كان ذلك في نيته من أول الشهر، ولكن لو قطع الصوم في أثناء الشهر لسفر أو مرض أو نحوه وجب عليه استئناف النية، لأنه قطعها بترك الصيام للسفر والمرض ونحوهما.
Jawaban: cukuplah Puasa Ramadhan dengan sekali niat pada awalnya, karena jika ia tidak berniat disetiap malam harinya maka sesungguhnya dia telah ada niatnya dari awal bulan. Akan tetapi, apabila puasanya terputus, maka dikarenakan melakukan perjalanan  atau sakit atau yang lain, maka wajib baginya untuk memperbaharui niat, kerana niatnya telah terputus dengan meninggalkan puasa karena musafir, sakit dan selainnya tadi. (lihat majmu' fatawa beliau dijilid 19 kitab puasa)




26.      Bagaimana Puasa Orang Yang Baru Mengetahui              
      Ramadhon Telah Masuk Setelah Fajar Shodiq?

Apabila dia belum makan sejak terbitnya fajar shodiq tadi maka hendaknya ia meneruskan untuk berpuasa. adapun niat maka sebenarnya dia telah berniat untuk mau berpuasa. hanya saja ia terlambat mengetahui masuk waktu ramadahan.
Tapi apabila ia telah makan setelah terbitnya fajar shodiq, maka hendaknya ia mengganti puasanya hari itu dihari yang lain. karena hukumnya adalah sama dengan hukum orang yang salah atau tidak sengaja. maka oleh karena itu ia tidak berdosa, akan tetapi ia harus mengqodho'nya dihari yang lain.



27.   Siapa Ahlul A'dzar Dalam Puasa
Ahlul a'dzar adalah orang-orang yang diperbolehkan untuk berbuka disiang hari bulan ramdhan. Dan menggantinya dihari yang lain atau membayar kafarat. Mereka adalah:
Pertama : orang gila, rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ ، أَخْبَرَنِي جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مِهْرَانَ ، عَنْ أَبِي ظَبْيَانَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : مُرَّ عَلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَعْنَى عُثْمَانَ ، قَالَ : أَوَ مَا تَذْكُرُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ ، عَنِ الْمَجْنُونِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيقَ ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ

Artinya: “Diangkat pena dari tiga golongan; dari orang yang TIDUR hingga dia bangun, dari anak KECIL hingga dia baligh, dan dari orang GILA hingga dia berakal waras.” (H.R Abu daud no 3823, ishohihkan Syekh albani didalam kitabnya al-irwa' 2/4)

kedua: orang yang belum balig. Permasalahanya adalah bagaimana cara mengetahui seseorang telah balig:
1.      Keluar mani bagi laki-laki. dalilnya adalah hadits diatas.
2.      tumbuhnya bulu (bagi laki-laki dan wanita). Sebagaimana sabda rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَطِيَّةَ الْقُرَظِىِّ قَالَ عُرِضْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ قُرَيْظَةَ فَكَانَ مَنْ أَنْبَتَ قُتِلَ وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ خُلِّىَ سَبِيلُهُ فَكُنْتُ مِمَّنْ لَمْ يُنْبِتْ فَخُلِّىَ سَبِيلِى. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُمْ يَرَوْنَ الإِنْبَاتَ بُلُوغًا إِنْ لَمْ يُعْرَفِ احْتِلاَمُهُ وَلاَ سِنُّهُ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَاقَ. رواه الترمذي ( 1584 ) والنسائي ( 3430 ) وأبو داود ( 3826 ) وابن ماجه ( 2542 .(والحديث : صححه الترمذي وابن حبان والحاكم ، ووافقه الحافظ ابن حجر ، انظر " التلخيص الحبير " ( 3 / 42 (
Artinya: “Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan” [HR. At-Tirmidzi no. 1584, An-Nasa’i no. 3429,3430, dan yang lainnya; shahih].
3.        haid bagi wanita.
Ketiga:  Safar([2])
Allah Subuhanahu Wata'ala Berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (Q.S Al-baqarah ayat 184)
Rasulullah shollallahu a'alihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ، وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ. رواه البخاري (1841), ومسلم (1121)
Akan tetapi apabila seorang mampu untuk berpuasa, dan sama sekali puasa tidak menjadikan ia kesulitan selama perjalananya maka diperbolehkan baginya untuk berpuasa bahkan itu termasuk sunnah rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam, sebagaimana sabdanya:
حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أُمِّ الدَّرْدَاءِ عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ - رضى الله عنه - قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ.
Artinya: Dari Abi ad-Dardâ` radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada bulan Ramadlan saat temperatur sedemikian panas, hingga membuat salah seorang diantara kami sampai meletakkan tangannya diatas kepalanya saking panasnya. Dan tidak ada seorang diantara kami yang berpuasa selain Rasulullah dan 'Abdullah bin Rawahah." (HR.Muslim)
Tapi jika ia tidak mampu untuk berpuasa maka hendaknya ia tidak menyiksa dirinya, mengambil rukhsoh pada saat itu sunnah. malah kalau ia berpuasa padahal ia tidak kuat, itu tidak termasuk kebaikan, sebagaimana sabda rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ - قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ - عَنْ شُعْبَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْحَسَنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنهما - قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَرَأَى رَجُلاً قَدِ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَقَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ « مَا لَهُ ». قَالُوا رَجُلٌ صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِى السَّفَرِ ».
Artinya: Abu Bakr bin Abu Syaibah, Muhammad ibnul Mutsanna, dan Ibnu Basysyar telah menceritakan kepada kami. Seluruhnya dari Muhammad bin Ja'far. Abu Bakr berkata: Ghundar menceritakan kepada kami, dari Syu'bah, dari Muhammad bin 'Abdurrahman bin Sa'd, dari Muhammad bin 'Amr bin Al-Hasan, dari Jabir bin 'Abdullah radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah pada suatu perjalanan beliau melihat seseorang yang dikerumuni manusia dalam keadaan dia diberi teduhan. Beliau bertanya, “Kenapa dia?” Orang-orang menjawab: Dia berpuasa. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bukan kebajikan, puasa kalian ketika dalam perjalanan." (H.R Muslim no 1115)
Empat: Sakit
Allah Subuhanahu Wata'ala Berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (Q.S Al-baqarah ayat 184)
sakit yang dimaksud disini adalah sakit yang menyulitkan diri untuk puasa, menjadikan diri tambah sakit jika puasa, sakit berat yang menjadikan semakn lemah atau bahkan menyebabkan meninggal  jika berpuasa. bukan sakit ringan yang tidak mempengaruhi diri jika berpuasa.

Kelima: Laki-Laki Atau Wanita Yang Sudah Usia Lanjut
yaitu yang sudah tidak kuat lagi untuk puasa. Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فَلَا يُطِيقُونَهُ [فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ] قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا رواه البخاري (4235)
Artinya: ….Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma : “ ayat ini tidak dinasakh akan tetapi Diberikan rukhsah (keringanan) bagi laki-laki tua dan wanita tua pada masalah ini (puasa) sementara keduanya mampu berpuasa untuk berbuka jika mau, atau untuk memberi makan setiap hari seorang miskin".
Dan tidak wajib qodho` atas mereka, kemudian (hukum tersebut) diganti dengan (hukum) di dalam ayat ini :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Maka barangsiapa diantara kalian mendapati bulan puasa maka hendaklah ia berpuasa”.
dan ditetapkan bagi laki-laki dan wanita tua jika tidak sanggup berpuasa demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir, untuk berbuka dan memberi makan setiap hari seorang miskin”. (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqy 4/230) dan Abu Daud 2318. Berkata Syaikh Salim Hilaly dan ‘Ali bin Hasan bin ‘Abdul Hamid : Sanadnya shohih (lihat : Sifat Puasa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam Dalam Ramadhan hal.80).

Keenam: wanita haid (atau nifas)
وَحَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Artinya: Dari Mu'adzah Radhiyallahu Anha ia berkata, Aisyah Radhiyallahu Anha pernah ditanya Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah? “ Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat”. (HR. Bukhari 315 dan Muslim no. 335)
Wanita Mustahadhah
Wanita yang mengalami istihadhah ini wajib untuk melaksanakan puasa dan tidak boleh baginya meninggalkannya (berbuka) karena sebab darah istihadhah.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Berkata: “Berbeda dengan istihadhah, Istihadhah (bisa) mencakup pada seluruh waktu (artinya bisa terjadi pada setiap waktu) dan tidak ada waktu khusus yang diperintahkan untuk berpuasa (melainkan seluruh waktu), dan tidak mungkin baginya untuk menghindari istihadhah seperti tidak mungkinnya dia mencegah muntah dan keluarnya darah karena luka dan mimpi dan semisalnya yang tidak ada waktu-waktu yang tertentu sehingga bisa dihindari. Maka istihadhah ini (seperti juga yang lainnya) tidaklah meniadakan puasa seperti darah haidh (Majmu’ Al- Fatawa 25/251). Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Mustamin Musaruddin.
Ketujuh: wanita hamil atau menyusui
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَيُوسُفُ بْنُ عِيسَى قَالاَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو هِلاَلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَوَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَجُلٌ مِنْ بَنِى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَوَجَدْتُهُ يَتَغَدَّى فَقَالَ « ادْنُ فَكُلْ ». فَقُلْتُ إِنِّى صَائِمٌ. فَقَالَ « ادْنُ أُحَدِّثْكَ عَنِ الصَّوْمِ أَوِ الصِّيَامِ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ ».
Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang hamil atau menyusui”. (H.R Tirmidzi 715, Nasa’I 2274, Abu Daud 2408, Ibnu Majah 1667. Imam Tirmidzi mengatakan hadits anas bin malik al-ka’biy adalah hadits hasan).
Peringatan:
-     Musafir, wanita haid dan nifas, wanita hamil dan menyusui hanya qodho' saja
-     Laki-laki dan wanita lanjut usia, orang yang sakit bertahun-tahun (harapan untuk sembuh dengan segera sangat kecil) hanya memberi makan 1 orang miskin saja disetiap hari. setiap satu orang miskin


([1]) Taudhil Ahkam II/659, darul Atsar, Koiro, cet. I, 1425 H
([2]) ibnu qoyyim berkata: tidaka ada batasan jarak yang ditentukan oleh rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam dalam masalah safar yang diperbolehkan ifthor, begitupun yang dikatakan ibnu taimiyah dan ibnu qudamah didalam zadul ma'ad (2/55 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar