66. Bolehkah Menyelam Dalam Air Ketika Berpuasa?
Permasalahan ini hampir sama dengan orang yang
mandi terus atau mandi yang lama disiang hari ramadhan. Yaitu ada tiga keadaan:
Pertama:
Mandi atau Menyelam dalam
air dengan tujuan hanya untuk sekedar menghilangkan gerah dan menyegarkan badan agar tidak risih dalam
melaksanakan ibadah-ibadah ramadhon maka hal ini tidak apa-apa.
Kedua: Mandi atau Menyelam dalam air dengan niat tamatta’
(menikmati) kesegaran air. dengan itu ia akan mendapatkan kekuatan dalam puasa dan menghilangkan
keletihannya, maka ini hukumnya makruh karena sudah menjadi konsekuensi orang
yang berpuasa harus bisa menahan kondisi yang timbul akibat puasa seperti
lapar, haus, lemas, panas, letih dan lain-lain.
Ketiga:
Mandi atau menyelam dalam
air yang sampai menyebabkan ia
menelan air atau air masuk kedalam tenggorokan. Hal ini adalah haram karena
bisa membatalkan puasa lantaran air tertelan baik melalui
mulut ataupun hidung.
Oleh karena itu, dalam segala hal hendaknya
kita menjadi orang yang biasa-biasa saja, jangan terlalu berlebih-lebihan.
Termasuk dalam mandi. Jika mandi atau menyelam, maka:
- Jangan
sambil masukkan air ke mulut, dikhawatirkan sengaja atau tanpa sengaja air itu
akan tertelan.
- Apabila
ingin menyelam maka tutuplah mulut dan telinga, dan dilakukan dengan hati-hati
agar air juga tidak masuk lewat hidung.
67. Hukum Memakai
Obat Tetes Mata Disiang Hari Bulan Ramadhan
Jika ada
seseorang yang sedang melaksanakan ibadah puasa kemudian mengobati matanya
dengan Visin atau yang lainya, baik obat tersebut sangat terasa di tenggorokan
atau tidak. Maka tidak menyebabkan
batalnya puasa, hal ini dikarenakan:
1.
Tidak ada satu dalil pun
yang menyatakan bahwa obat tetes mata adalah salah satu yang menjadikan puasa
batal
2.
Mata bukanlah saluran
tempat masuknya zat makanan dan minuman.
3.
Obat mata yang
terasa di tenggorokan itu masuk melalui pori-pori, bukan lubang yang tembus ke
tenggorokan, seperti hidung.
4.
Tetes mata
ketika masuk pada lubang mata hanyalah sedikit, sehingga kalaupun terasa di
tenggorokan maka tidak mengalir terus hingga kerongkongan.
Ulama yang berpendapat seperti ini yaitu Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, syekh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan
Dr. Wahbah Az Zuhaili.
68. Hukum Memakai
Obat Tetes Telinga Disiang Hari Bulan Ramadhan
Memakai obat tetes
telinga disinag hari ramdhan tidak membatalkan puasa. Ini adalah salah satu
pendapat ulama Syafi’iyah dan merupakan pendapat Ibnu Hazm. Alasan mereka yaitu:
1.
Tidak ada satu dalil pun
yang menyatakan bahwa obat tetes mata adalah salah satu yang menjadikan puasa
batal
2.
Mata bukanlah saluran
tempat masuknya zat makanan dan minuman.
3. tetes telinga tidak sampai pada kerongkongan dan otak
dan hanya sampai ke pori-pori saja.
4. Karena tidak ada saluran yang menghubungkan antara
telinga menuju kerongkongan atau antara telinga dan otak Sehingga dari
pembuktian ini, tetes telinga tidaklah membatalkan puasa.
69. Hukum Donor Darah Ketika Puasa
Apakah donor darah
membatalkan puasa? Maka jawabanya adalah hukumnya sama dengan hukum membekam.
Karena sama-sama mengeluarkan darah dari tubuh. Hanya saja bekam yaitu
mengeluarkan darah kotor sedangkan donor darah mengeluarkan darah yang bersih.
Inilah yang disebut
dengan kiyas:
Al-ashlu = Bekam
Al-far'u = Donor
darah
Hukum = Boleh
Illat = Menjadikan tubuh
lemah
70. Hukum Infus Ketika Puasa
Model suntikan yang
diberikan kepada pasien yang sedang sakit ada dua macam yaitu:
Pertama: suntikan yang mengandung obat, baik itu untuk
mengilangkan sakit atau meringankanya. Ini tidak membatalkan puasa.
Kedua: suntikan yang mengandung nutrisi. Ini membatalkan
puasa.
Dan infuse termasuk
kelompok yang kedua ini. Karena fungsi dari infuse adalah menambah nutrisi, dan
itu sama dengan makanan sekalipun tidak masuk melalui kerongkongan. Oleh karena
itu hokum infuse bagi orang yang sedang berpuasa adalah bias membatalkan
puasanya. Maka ia harus mengganti puasanya itu dihari yang lain.
Infus
mengandung cairan steril dengan sedikit natrium klorida (garam), dekstrosa
(gula) yang disimpan dalam paket kaca atau kantong plastik yang dapat digantung
di tempat tidur pasien. Larutan gula dan garam dapat mencukupi cairan dan
kalori yang dibutuhkan orang sakit untuk jangka waktu yang pendek. Setiap 50mg
gula setara dengan 200kalori.
Telah
disahkan dalam keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi OKI) dalam rapat
ke-sepuluh no.93 menyebutkan hal-hal yang tidak membatalkan puasa : (8.
Menyuntikkan obat di kulit atau otot atau pembuluh darah, yang bukan cairan
nutrisi.)
71. "
Operasi"
Ketika Sakit, Apakah Membatalkan Puasa?
Operasi ada dua macam:
Pertama: operasi sebagian anggota badan. Yang dimaksud disini
adalah menggunakan obat tertentu untuk mematikan rasa sakit bagian badan
tertentu yang ingin di operasi. Maka hal ini tidak membatalkan puasa. Karena ia
pada hakekatnya tidak sampai hilang kesadaranya dan obat itu tidak masuk
keseluruh badanya. Hanya sampai kepada bagian tertentu dari badan yang ingin di
operasi tadi.
Kedua: operasi seluruh badan. Yang dimaksud disini adalah
menggunakan obat tertentu untuk mematikan rasa seluruh badan baik itu dengan
suntikan atau dengan obat luar. Sehingga efeknya menjadikan seseorang yang
sedang dioperasi tidak menyadarkan dirinya. Atau zaman sekarang disebut dengan bius.
Inilah yang membatalkan puasa, karena obat tersebut mempengaruhi seluruh
anggota badanya, dan ia sampai tidak sadarkan diri.
72. Hukum Melakukan Pijat Pengobatan Di Bulan Ramadhan
Hukum melakukan pijat pengobatan, baik dibulan Ramadhan
atau di luar Ramadhan adalah boleh. Karena tidak ada dalil yang melarang akan
hal itu. bahkan pijat pengobatan adalah termasuk salah satu usaha untuk menuju
kesembuhan dari sakit yang dialami.
Permasalahannya adalah, bagaimana jika pijat pengobatan itu
dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan ? Maka untuk menjawab ini, sesungguhnya hal tersebut tidak
membatalkan puasa. Akan tetapi perlu
diperhatikan beberap hal bagi orang yang melakukan pijit pengobatan disiang
hari ramadhan:
1. Utamakan yang memijat adalah mahram
sendiri. Seperti suami dipijit oleh istrinya atau sebaliknya. Hal ini untuk
lebih menjaga kehormatan dan fitnah yang akan timbul.
2. Hendaknya dilakukan dirumah sendiri.
Jika yang memijit adalah orang lain maka sebisa mungkin dipanggil kerumah.
Tidak ditempat umum atau yang lainya. Khususnya bagi wanita, tidak dibolehkan bagi mereka
untuk mendatangi tempat-tempat pijat umum jika ia bisa mendapatkannya di rumah.
Karena terlarang baginya membuka baju di luar rumahnya, dan karena tidak ada
jaminan baginya selamat dari perbuatan orang jahil yang mengintip atau
memotretnya di tempat-tempat tersebut.
3. Yang
memijat adalah bukan lawan jenis. Jika yang berprofesi sebagai tukang
pijat itu laki-laki maka ia tidak boleh memijat perempuan. Demikian sebaliknya.
Karena menyentuh tubuh yang bukan mahramnya adalah haram. Selain itu, ini akan
menjadi pintu fitnah bagi keduanya.
4. Tidak boleh memijat bagian aurat.
Yaitu, bagian tubuh yang terletak di antara pusar dan lutut, bagi laki-laki.
Bagian tubuh yang terletak di antara payudara dan lutut, bagi wanita. Kecuali,
jika pada bagian tersebut perlu sekali mendapat perawatan berupa pijatan. Maka
hal ini dibolehkan karena darurat.
5. Tidak boleh telanjang atau
memperlihatkan aurat di hadapan orang yang memijat. Yang diperlihatkan hanya
bagian tubuh yang akan dipijat.
73. Apa itu Fajar Shodiq Dan Fajar Kaadzib
1. Fajar shadiq, yaitu fajar yang cahayanya memanjang (mendatar).
Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda:
لاَ يَغُرَّنكمْ أحَدَكمْ نِدَاءُ بِلاَلٍ مِنَ
السَّحُوْرِ وَلاَ هذا البَيَاضُ حَتَّى يَسْتطِيْرَ. وفي رواية :
هُوَ المُعْتـَرِضُ وَليْسَ بالمُسْتَطِيلِ
Artinya: “Janganlah
adzannya Bilal mencegah kalian dari sahur dan tidak pula cahaya putih ini
sampai mendatar (horisontal). Dalam riwayat yang lain : yaitu cahaya yang
mendatar bukan yang menjulang ke atas.” (H.R Muslim hadits no. 1093)
2. Fajar kadzib, yaitu fajar yang
cahayanya naik (vertikal) seperti ekor serigala. Dengan fajar ini belum masuk
waktu shalat Subuh, dan masih diperbolehkan makan dan minum. Sebagaimana
diterangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum
bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
حَدَّثَنَاهُ أَبُو
بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَاتِمٍ الدَّارَبَرْدِيِّ، بِمَرْوَ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوْحٍ الْمَدَائِنِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ
هَارُونَ، أَنْبَأَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ
اللهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
الْفَجْرُ فَجْرَانِ : فَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ السَّرْحَانِ
فَلاَ تَحِلُّ الصَّلاَةُ فِيهِ وَلاَ يَحْرُمُ الطَّعَامُ ، وَأَمَّا الَّذِي
يَذْهَبُ مُسْتَطِيلاً فِي الْأُفُقِ فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلاَةَ ، وَيُحَرِّمُ
الطَّعَامَ.
Artinya: “Fajar ada dua macam (pertama), fajar yang bentuknya
seperti ekor serigala maka belum dibolehkan dengannya shalat (subuh) dan masih
dibolehkan makan. Dan (kedua) fajar yang membentang di ufuk timur adalah fajar
yang dibolehkan di dalamnya shalat (subuh) dan diharamkan makan (sahur).” (HR. Al-Hakim no 687)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Abdurrazzaq
berkata, kami diberitahu oleh Juraij bin Atha, dia berkata, “Aku mendengar Ibnu
Abbas berkata, ‘Ada dua fajar. Fajar yang cahayanya membentang di langit, tidak
mengakibatkan penhalalan dan pengharaman apapun (baik makan maupun minum). Akan
tetapi fajar yang terlihat terang di puncak gunung, itu yang mengharamkan
minuman (bagi yang berpuasa).’ Atha berkata, ‘Fajar yang membentang di langit
–dan bentangannya itu akan hilang- maka itu tidak diharamkan minuman bagi yang
berpuasa tidak juga shalat, tidak terlewatkan haji (masih sah wukuf). Akan
tetapi kalau yang menyebar di puncak gunung, diharamkan minuman bagi yang
berpuasa dan terlewatkan haji.’ Sanadnya shahih sampai ke Ibnu Abbas dan Atha.
Begitu juga yang diriwayatkan bukan hanya satu dari kalangan ulama salaf
rahimahumullah.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/516)
Ibnu Qudamah Rahimahullah Berkata, “Secara
umum, waktu subuh masuk dengan terbitnya fajar kedua berdasarkan ijma
(konsensus para ulama’). Hal itu telah ditunjukkan kabar penentuan waktu. Yaitu
(cahaya) putih meluas dan menyebar di ufuk dinamakan dengan fajar sadiq.
Dikatakan demikian karena membenarkan anda dan menjelaskan kepada anda tentang
subuh. Shubuh itu artinya gabungan antara putih dan kemerah-merahan. Oleh
karena itu kalau seseorang warna kulitnya itu putih dan kemerah-merahan
dinamakan ‘Asbaha’.”
Adapun fajar pertama, (cahaya) putih yang tipis
memanjang bukan membentang dan tidak terkait dengan hukum, dinamakan fajar
kadzib. Kemudian waktu pilihan terus sampai terlihat siang.” (Al-Mughni, 1/232)
Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullahu ta'ala
berkata didalam As-Syarhu Al-Mumti’, 2/107, 108: “Para ulama menyebutkan bahwa antara fajar
sadiq dan fajar kadzib- terdapat tiga perbedaan;
Pertama : Fajar
pertama (kadzib) memanjang, tidak membentang yakni memanjang dari timur ke
barat.
Kedua : Bahwa
fajar awal gelap, maksudnya muncul cahaya dalam waktu singkat namun kemudian
gelap. Sedangkan fajar kedua (sadiq) tidak gelap, bahkan bertambah cahayanya
dan semakin terang.
Ketiga : Fajar
kedua (sadiq) menyatu dengan ufuk, antara dia dengan ufuk tidak ada kegelapan.
Sementara fajar pertama terputus dari ufuk. Antara ia dengan ufuk ada
kegelapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar