Jumat, 14 Februari 2020

173 PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA DAN I'TIKAF (108-152)


108.   Hukum Bersiap-siap Untuk I'tikaf
Hukum bersiap-siap untuk I'tikaf sama dengan hukum I’tikaf, yaitu sunnah. Karena menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan I’tikaf adalah wasilah untuk bisa melaksanakan I’tikafdengan sempurna dan nyaman, sedangkan wasilah memiliki hukum seperti hukum tujuan (maksud), oleh karena itu para usuliyyin berkata:
الوسائلُ لها حُكمُ المقاصِدِ ([1]) ما لا يتم واجب إلا به فهو واجب, وكذلك في المحروم والمكروه والمباح والمستحب
Artinya: Wasilah memiliki hukum maksud, sesuatu yang tidak akan sempurna kewajiban kecuali denganya maka berarti itu adalah wajib, begitupun dalam hal haram, makruh, mubah dan mustahabbun.

109.   Apakah I'tikaf Itu?
I'tikaf adalah berdiam diri dalam masjid dengan niat mendekatkan diri pada Allah Subuhanahu Wata’ala dan beribadah pada-Nya.
catatan:
I'tikaf merupakan ibadah seperti perkataan Ibrahim alaihi ssalam:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
Artinya: (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?" (Q.S Al-Anbiya’ : 52}

110.   Hukum I'tikaf
I'tikaf Sunnah Nabawiyah dan Syari'ah Rabbaniyah yang disebutkan Allah dalam kitabnya. Allah subuhnahu wata'ala berFirman:
{وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Artinya: Dan Sucikanlah Rumahku untuk orang-orang yang tawaf, shalat, ruku’ dan sujud  (Q.S Al-Haj: 26)
Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam juga telah melakukan I'tikaf sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari
كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ  عَزَّ وَجَلَّ
Artinya : “Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam melakukan i’tikaf disepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon sampai beliau wafat” (H.R Bukhari, Hadits Nomor  2027, Muslim Hadits Nomor 1172)


 
111.   Rukun I’tikaf
Adapun rukun I’tikaf ada dua, yaitu:
1.Niat, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al-Bukhari no 53, 5070 dan Muslim hadits no1907)
Dan Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
{ وَمَا أُمِرُوا إلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ }
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama". (Q.S Al-bayyinah: 5)
2. Berdiam di masjid, Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: Dan janganlah kamu campuri mereka itu (Istri-istrimu), sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. (Q.S Al-baqarah : 187)





112.   Hukum I'tikaf Di Masjid Haram Dan Masjid Nabawi
Hukumnya adalah mustahabbun berdasarkan ijma' ulama dan tidak ada seorang ulamapun yang menyelisihi itu. Berdasarkan Firman Allah Subuhanahu Wata’ala:
{وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Artinya: Dan Sucikanlah Rumahku untuk orrang-orang yang tawaf, shalat, ruku’ dan sujud  (Q.S Al-Haj: 26)
Ini adalah dalil I'tikaf dimasjid haram. Adapun dalil I'tikaf di Masjid Nabawi adalah perbuatan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau telah beri'tikaf  di masjidnya (Masjid Nabawi) sebagaimana yang dikatakan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   didalam hadits yang Diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

113.   Hukum I'tikaf Diselain Masjid Haram Dan Masjid Nabawi
Dalam hal ini, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahlul ilmi. Diriwayatkan dari Hudzaifah Al-Yaman dan sa’ied bin Musayyib Sesungguhnya mereka berdua berkata: tidak ada I'tikaf kecuali di Masjid Haram dan Masjid Nabawi, mereka berdua tidak membolehkan I'tikaf kecuali dikedua masjid itu.
Adapun ahlul ilmi dari para sahabar secara umum seperti Ali Bin Abi Thalib, Abdullah Bin Mas'ud , Abdullah Bin Abbas dan umumnya fuqaha' seperti Imam malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad mereka berpendapat: " sesungguhnya boleh I'tikaf di semua masjid yang didalamnya didirikan sholat jum'at, ini berdasarkan Firman Allah Subuhanahu Wata’ala:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: Dan janganlah kalian menggauli mereka sedangkan kalian sedang i’tikaf di masjid (Q.S Al-baqarah : 187)
Allah Subuhanahu Wata’ala mengglobalkan masjid dengan bentuk jama'. Maka dengan itu masjid secara umum, baik itu masjid haram, Masjid Nabawi ataupun masjid-masjid yang lain dan inilah yang rojih.
Sa’id Bin Zubair Berkata: " boleh i'tikaf didalam masjid yang didalamnya didirikan shalat lima waktu saja seperti zawiyah, masjid kecil (mushollah), maka dibenarkan I'tikaf didalamnya. Dan keluar shalat jum'at dimasjid besar kemudian kembali lagi ketempat i'tkaf untuk melanjutkan I'tikaf.


114. Apakah Mensyaratkan Puasa Sebagai Syarat Syahnya I'tikaf?
Abu Huirairah, Abdullah Bin Umar Dan 'Aisyah Radhiyallahu Anhum Berpendapat : “Sesungguhnya tidak ada I'tikaf kecuali dengan puasa ".
Adapun Ali Bin Abi Tholib, Abdullah Bin Mas'ud, Imam Malik, Imam Syafi'i Dan Imam Ahmad Serta Yang Lainya Berpendapat: " Sesungguhnya boleh i'tikaf walaupun tanpa puasa". Dan inilah yang benar.
Abdullah Bin Abbas Berkata: Tidak ada puasa bagi orang yang i'tikaf kecuali ia mengharuskan dirinya untuk puasa". Yang menunjukkan itu adalah apa yang Diriwayatkan Bukhari  dan Muslim:
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَذَرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ أُرَاهُ قَالَ لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ بِنَذْرِكَ
Artinya: “ Dari Nafi' Dari Ibnu Umar sesungguhnya beliau berkata: aku bernazdza diwaktu jahiliyah untuk i'tikaf satu malam dimasjid haram, kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   bersabda padanya: "tunaikan nadzarmu".
Umar Rahdiyallahu ‘anhu bernadzar untuk i'tikaf satu malam. Dan malam dimulai sejak terbenamnya matahari dan saat ini bukan dibulan puasa, , kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   bersabda padanya: "Tunaikan Nadzarmu". Yaitu: "i'tikaflah!"
Itu menunjukkan bahwa i'tikaf tidak mensyaratkan harus puasa. Kita bisa memetik pelajaran dari sini bahwa  orang yang sedang sakit kemudian berbuka maka itu tidak membatalkan i'tikafnya dikarenakan terputus puasanya.
115.   Hukum Jima' Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf
Jima' bagi orang yang sedang I'tikaf adalah haram dan itu akan membatalkan I'tikaf. Berdasarkan Firman Allah Subuhanahu Wata’ala:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya: Dan janganlah kamu campuri mereka itu (Istri-istrimu), sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.". (Q.S Al-baqarah : 187)
Yaitu jangan menyetubuhinya. Maka haram bagi orang yang sedang I'tikaf menggauli istrinya.

116.   Hukum Pendahuluan Jima' Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf
Muqoddimah Jimak yang dimaksud disini adalah Seperti Mencium, Memandang Dengan Pandangan Syahwat Dan Sebagainya. Maka hukumnya adalah para ulama berselisih pendapat mengenai hukum mencium istri ketika sedang berpuasa ditafsil (diperinci ) sebagai berikut :
1.      Menurut Sa’id Bin Al Musayyab,seperti yang diceritaan oleh Syeh Al Khutobi, orang yang mencium saat puasa, maka puasanya batal, dan harus mengqodho’ puasa tersebut, pendapat yang sama diriwayatkan oleh Imam Al Mawardi dari syeh Muhammad bin Al Hanafiyah dan Ibnu Sirin.Ini juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.
2.      Imam Malik memakruhkan hal tersebut, baik bagi anak muda atau orang yang tua.
3.      Sebagian yang lain memperbolehkannya bagi orang yang sudah tua saja.Ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
4.      Abu Tsur berpendapat : jika ia khawatir akan “ melewati batas “   jika mencium, maka tidak diperbolehkan mencium.
5.      Madzhab Syafi’i mentafsil masalah ini sebagai berikut :
  • Dimakruhkan mencium, baik itu dibibir atau pada anggota badan lain saat sedang berpuasa, jika dikhawatirkan akan menyebabkan keluarnya mani atau melakukukan hubungan intim.
  • Apabila tidak dikhawatirkan akan keluar mania tau jima’, maka hukumnya khilaful aula ( lebih baik tidak dilakukan ), sebagai langkah antisipasi, karena mungkin saja akhirnya terangsang, lagi pula disunatkan bagi orang yang sedang berpuasa untuk meninggalkan segala macam syahwat.
Imam Malik Dan Ahlul Ilmi Secara Umum Berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang sedang i'tikaf untuk melakukan perbuatan yang menuju kebada jima' karena i'tikaf landasanya adalah ibadah dan berpaling dari dunia secara utuh. Adapun muqaddimah jima' adalah perkara dunia yang akan menghilangkan niat atau maksud i'tikaf. Oleh karena itu, orang yang sedang i'tikaf tidak boleh melihat istinya dengan pandangan nafsu dan tidak boleh menciumnya, juga tidak boleh memegangnya dengan nafsu karena itu akan menghilangkan niat dan maksud dari i'tikaf.


 
117.  Hukum I'tikaf Bagi Perempuan
Adapun hukum I’tikaf bagi perempun adalah boleh, hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
Artinya: "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkannya. Kemudian i'tikaf dilanjutkan oleh istri-istri beliau." (H.R Bukhari Nomor 1922 dan Muslim Nomor 1172).
Hal itu menunjukkan bahwa i’tikaf disyariatkan bagi kaum laki-laki dan wanita.
Sebagian ahlul ilmi memakruhkan perempuan untuk ber-i'tikaf dimasjid. Ini perkataan Imam Abu Hanifah An-nu'man ketika beliau berkata: " Seorang wanita jika ingin beri'tikaf maka i'tikaflah dirumahnya yaitu di tempat  ia sholat didalam rumahnya”([2])
Adapun Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi'i juga para Sahabat Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   seperti ibnu abbas, 'Aisyah, Hafsah, Zainab dan yang lainya mengatakan: " Bahwa boleh bagi perempuan untuk i'tikaf dimasjid dengan syarat tidak terlalu menghiasi diri, tidak berwangi-wangian dan tidak menampakkan dirinya didepan laki-laki serta tidak menjadikan keberadaanya dimasjid menjadi fitnah bagi yang lainya".([3])
Jika seperti itu, maka boleh bagi perempuan untuk i'tikaf sekalipun ia pemudi (wanita remaja). Tidak ada perbedaan bagi perempua remaja dan perempuan tua dalam masalah i'tikikaf, berdasarkan riwayat bukhari dan muslim dari jalur A'isyah Radhiyallahu 'anha yang kita sebutkan diatas.
Didalam Shohihain diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   ia Berkata  : Hafshah minta izin kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   untuk ber'itikaf kemudian beliau mengizinkanya kemudian shofiyah melihat khibah hafsah iapun membuat khibah, kemudian Zainab melihat khibah Shofiyah dan iapun membuat khibah, ketika Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   keluar beliau bersabda: apa ini? Kemudian dikaabarkankeadanya: ini khibah Hafsah, ini khibah Zainab, ini khibah Shofiyah. Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   pun mengetahui maksud mereka adalah cemburu dan saling bersanding. Kemudian beliau bersabda: " apakah kebaikan yang kalian inginkan?" kemudian beliau menyuruh mereka untuk kembali kerumahnya masing-masing.
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   memutuskan i'tikafnya (tidak I’tikaf) pada tahun itu untuk memperbaiki keharmonisan para istrinya.

118.  Hukum Perempuan Yang Kedatangan Haid Ditengah-Tengah I'tikaf
Pendapat ahlul ilmi yang paling dzohir dalam hal ini adalah terputus I'tikaf wanita yang kedatangan haid. Dan masalah ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama akan tetapi yang paling dzohir dari pendapat-pendapat itu adalah terputus I'tikaf perempuan itu dan harus mengqodho'nya dihari yang lain, karena ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   tidak masuk tidak masuk kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   ketika ia haid. Sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   ia Berkata  :
Artinya: “Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   mengeluarkan kepalanya sedangkan beliau sedang I'tikaf kemudian aku merapikan rambutnya sedangkan aku sedang haid".
Arjaluh yaitu merapikan, memperbaiki dan menghiasinya. Kalau seandainya perempuan haid boleh I'tikaf maka pastilah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   telah beri'tikaf bersama Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   saat itu.
Perempuan yang sedang I'tikaf kemudian kedatangan haid maka ia harus keluar dari masjid dan pulang kerumahnya.
Masalah ini berbeda dengan perempuan haid kemudian masuk masjid. Kita harus membedakan keduanya. Maka boleh bagi wanita haid untuk masuk masjid tapi tidak boleh I'tikaf. Karena perempuan haid masuk masjid hanya sebentar dan ia bisa menjamin agar darah haid tidak menetes keluar di masjid. Sedangkan perempuan haid yang I'tikaf menginap dalam masjid berhari-hari dan bermalam-malam, tidak bisa menjamin darah haidnya untuk tidak menetes keluar dimasjid.


 


118.  Waktu Yang Paling Afdhol (Utama) Untuk I'tikaf
Waktu yang paling utama untuk I'tikaf adalah Sepuluh hari terakhir di bulan ramadhon. Karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   I'tikaf Sepuluh hari kedua di bulan ramdhon, tatkala mengetahui bahwa lailatul qadr berada di Sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon beliaupun memerintahkan para sahabatnya untuk kembali bersamanya kerumahnya masing-masing, kemudian mereka I'tikaf di Sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon.

119.        Hukum Beri'tikaf Di Sepuluh Hari Pertama         Dan Sepuluh Hari Kedua Dibulan Ramadhon

Seorang yang ingin I'tikaf sebulan penuh atau dua puluh hari terakhir dibulan Ramadhon maka itu tidaklah mengapa bahkan itu mustahabbun dan akan mendapatkan ganjaran disisi Allah, berdasarkan hadits yang Diriwayatkan Bukhari dari abu hurairah radhiyAllahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   I'tikaf Sepuluh hari dibulan ramadhon, ketika tahun yang didalamnya beliau wafat beliau I'tikaf 20 hari.
Itu menunjukkan boleh I'tikaf Sepuluh hari kedua dibulan ramadhon, begitu juga Sepuluh hari pertama. akan tetapi sunnahnya adalah di sepuluh hari terakhir:
عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِالرَّحْمَنِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قُلْتُ هَلْ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ قَالَ نَعَمِ اعْتَكَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ قَالَ فَخَرَجْنَا صَبِيحَةَ عِشْرِينَ قَالَ فَخَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَبِيحَةَ عِشْرِينَ فَقَالَ إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ فَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ وَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَرْجِعْ فَرَجَعَ النَّاسُ إِلَى الْمَسْجِدِ وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءِ قَزَعَةً قَالَ فَجَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ وَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَسَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الطِّينِ وَالْمَاءِ حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِي أَرْنَبَتِهِ وَجَبْهَتِهِ
Artinya: Dari Abu salamah bin Abdurahman, ia berkata; “Aku bertanya kepada Abu Sa’id al Khudry, ‘apakah anda mendengar Rasulullah menerangkan tentang lailatul qadar?’. Ia berkata, ‘Ya!, kami beri’tikaf bersama Nabi saw. pada sepuluh hari pertengahan di bulan Ramadhan. Kemudian kami keluar pada pagi hari ke dua puluh [Ramadhan]. Rasulullah menyampaikan khuthbah kepada kami pada pagi hari ke duapuluh itu. Beliau bersabda, ‘sungguh telah diperlihatkan kepadaku lailatul qadar tetapi kemudian aku dilupakan kepadanya. Maka carilah oleh kalian pada sepuluh hari terakhir pada hari yang ganjil. Karena sesungguhnya aku melihat diriku [pada malam qadar itu] sujud di atas air dan tanah. Barangsiapa yang beri’tikaf bersama Rasulullah maka kembalilah’. Maka orang-orang kembali lagi ke mesjid. Kami tidak melihat di langi ada gumpalan awan. Tetapi tiba-tiba datang awan berarak lalu turun hujan. Kemudian diiqamatkan untuk shalat. Maka Rasulullah sujud [dalam shalatnya itu] di atas tanah dan air sehingga aku melihat bekas tanah dan air di ujung hidung dan dahi Rasulullah”. (H.R Bukhari Nomor 1899)



120.  Hukum 'Itikaf Diselain Bulan Ramadhon
Boleh I'tikaf diselain bulan Ramadhon secara umum. Allah Subuhanahu Wata’ala berFirman:
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Artinya: Dan Sucikanlah Rumahku untuk orang-orang yang tawaf, shalat, ruku’ dan sujud  (Q.S Al-Haj: 26)
Allah Subuhanahu Wata’ala tidak mensyaratkan I'tikaf itu dibulan Ramadhon saja. Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Umar Radhiyalahu 'Anhu bernadzar untuk I'tikaf satu malam dimasjid haram kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   bersabda kepadanya: tunaikan nadzarmu. Dan itu bukan pada ramadhon. Ini menunjukkan bahwa boleh I'tikaf diselain bulan ramadhon.
Dan untuk lebih jelasnya seperti yang diriwayatkan dalam shohihain dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   ia Berkata: Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam  I'tikaf Sepuluh hari terakhir diBulan Ramadhon kemudian hafsah membuatkan khibah untuknya, dan zainab juga membuatkan khibah untuknya maka Nabi shollAllahu 'alaihi wasallam bersabda: "" kemudian Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam keluar dari masjid dan I'tikaf sepuluh hari dibulan syawal”.
Dan didalam riwayat bukahari disebutkan: " beliau I'tikaf sepuluh hari terakhir dibulan syawal". Itu menunjukkan bahwa boleh I'tikaf diselain bulan ramadhon.


 
 121.  Hukum Berbicara Dengan Istri Ditengah-Tengan I'tikaf
Tidak apa-apa seseorang berbicara dengan istrinya ditengah-tengah ia ber'itikaf. Menanyakan keadaanya atau keadaan anak-anaknya serta keluarganya.semua itu tidak mengapa, berdasarkan hadits yang Diriwayatkan Bukhari dan muslim didalam shohihain: " Sesungguhnya Shofiyah Radhiyallahu 'Anhu menziarahi Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam yang sedang I'tikaf, kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   berbicara denganya beberapa saat.
Itu menunjukkan bahwa tidak apa-apa bagi seorang suami yang sedang I'tikaf berbicara dengan istrinya.

122.  Hukum Menyentuh Istri Tanpa Syahwat Ketika Sedang I'tikaf
Tidak apa-apa bagi seorang yang sedang I'tikaf untuk menjabat tangan istrinya atau dirapikan rambutnya oleh istrinya, sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dan muslim, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   ia Berkata  : " Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   mengarahkan kepalanya kepadaku sedangkan beliau didalam masjid kemudian aku rapikan rambutnya sedangkan aku sedang haid."
A'isyah radhiyAllahu 'anha menyentuh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   dan beliau tidak mengqodho' I'tikafnya dan itu tidak menjadikan I'tikafnya batal. Ini juga tidak mengurangi pahala seorang yang I'tikaf.

123.  Hukum Seorang Isrti Yang Menziarahi Suaminya Yang Sedang I'tikaf
Hadits Shohih Dari Shofiyah Radhiyallahu 'Anha sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari : "Sesungguhnya beliau telah menziarahi Nabi ShollAllahu 'Alaihi Wasallam yang sedang I'tikaf dan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   tidak melarang akan itu". [4]
Ini menunjukkan bahwa boleh bagi seorang istri untuk menziarahi suaminya yang sedang I'tikaf baik itu untuk ngomong-ngomong denganya tentang satu perkara atau untuk membawakanya makanan atau untuk menanyakan keadaan dan kabarnya. Semua itu tidak apa-apa dan juga tidak makruh.




124.  Hukum Keluar Dari Masjid Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf
Seorang yang sedang I'tikaf apabila keluar dari masjid  maka I'tikafnya akan batal kecuali karena ada keperluan. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   berkata didalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: " Nabi shollAllahu 'alaihi wasallam ketika I'tikaf tidak keluar dari masjid  kecuali karena ada keperluan ".
Beliau tidak keluar untuk membeli barang-barang atau untuk menziarahi si fulan ataupun tidak untuk yang lainya.
Tidak boleh bagi orang yang sedang I'tikaf keluar masjid selamanya kecuali ada kebutuhan syar'I yang dibenarkan.




125.  Hukum keluar dari masjid untuk makan atau minum atau membuang air.
Boleh bagi seorang yang sedang I'tikaf keluar masjid untuk  makan atau minum atau membuang air, itu tidak apa-apa dan tidak akan membatalkan I'tikaf.


 
126.        Hukum Menziarahi Orang Sakit Dan  Mengantar      
         Janazah Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf

Imam  Malik Rahimahullah  berkata: "Seorang yang I'tikaf tidak boleh keluar untuk jenazah kedua orang tuanya, maka dari bab aulawiyyah untuk tidak keluar mengantar jenazah yang lain”.
Akan tetapi Imam Syafi'i, Imam Ahmad Dan Jam'ah Ahlul Ilmi berpendapat bahwa boleh  bagi  seorang  yang  sedang  I'tikaf  untuk  keluar kejanazah yang harus ia hadiri seperti jenazah bapaknya, ibunya atau istrinya ataupun salah satu anaknya. Maka boleh baginya untuk keluar dari tempat I'tikafnya. Dan itu tidak menjadikan I'tikafnya terputus.
Dan tidak boleh keluar untuk jenazah yang selain disebutkan diatas karena ia sedang sibuk dengan I'tikaf.
Adapun menjenguk orang yang sedang sakit maka tidak boleh bagi orang yang sedang I'tikaf untuk menjenguk orang yang sakit kecuali jika ia mengetahui bapak atau ibunya yang sedang sakit itu dalam keadaan gawat. Atau kemungkinan besar sakitnya itu akan menyebabkan ia mwninggal. Maka dalam hal ini boleh bagi mu’takif untuk menjenguk mereka.
Apabila tidak ada yang menjaga ayah atau ibunya yang sedang sakit, maka wajib baginya untuk memutuskan I'tikafnya karena menjaga atau merawat orang tua adalah lebih utama dari I'tikaf.


 
127.  Waktu Minimal Untuk I'tikaf
Ahlul ilmi berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mengatakan  bahwa boleh I'tikaf sekalipun diantara dua wktu shalat wajib yaitu tidak ada waktu minimal untuk I'tikaf sekalipun sepuluh menit, Ini madzhab Imam ahmad didalam salah satu riwayat darinya.
Ada yang mengatakan bahwa tidak ada I'tikaf kecuali sempurna sehari semalam.
Ada juga yang mengatakan bahwa boleh I'tikaf semalam saja. dan ini batas minimal I'tikaf atau I'tikaf sehari penuh. 
       Imam bukhari Rahimahullah  berkata didalam shohihnya: " Bab orang yang I'tikaf semalam dimasjid haram" kemudian meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhu : " Sesungguhnya ia bernadzar untuk beri'tikaf semalam dimasjid haram kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   bersabda padanya: " tunaikan nadzarmu".

128.  Hukum Mengqodho' I'tikaf Bagi Orang Yang Meninggalkanya
Apabila ia selalu I'tikaf setiap tahun kemudian disuatu waktu ia meninggalkanya, maka mustahabbun baginya untuk menggantinya (mengqodho') di selain Bulan Ramadhon sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dan muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   ia Berkata  : " Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   tidak I'tikaf disuatu tahun kemudian beliau I'tikaf Sepuluh hari terakhir dibulan
syawal".
Beliau mengqodho' I'tikafnya. Dan ini menjadi kaedah umum disetiap ibadah dan keta'atan termasuk yang  berbentuk nafilah. Adapun yang berbentuk fardhu maka disyari'atkan bagi hamba yang tertinggal ibadahnya untuk mengqodho'nya diwaktu yang lain.
Jika ia lupa melaksanakan dua raka'at subuh maka mustahabbun untuk mengqodho'nya setelah terbit matahari, begitu juga dengan shalat malam, mustahabbun untuk mengqodho'nya disiang hari. Sebagaimana hadits yang diriwaytkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   ia Berkata  : " Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam apabila ketiduran atau sibuk sehingga tidak sempat shalat malam maka beliau shalat 12 raka'at disiang hari".
Hukum ini umum disetiap ibadah baik dalam I'tikaf atau yang lainya.

129.  Hukum Khiba' Bagi Orang Yang I'tikaf
Khiba' adalah tempat berdiamnya orang yang I'tikaf untuk dirinya sendiri dan ia berdiam diri didalamnya.
Sunnah bagi orang yang I'tikaf untuk membuat khibah untuk dirinya yaitu tempat yang membatasi dirinya dengan orang lain didalam masjid.
Diterangkan dalam Shahih Al-Bukhari (2033) dan Muslim (1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah Radhiyallahu Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ
Arinya: “Bahwasanya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan beri’tikaf di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah Hafshah, dan kemah Zainab.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ فَأَذِنَ لَهَا وَسَأَلَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَسْتَأْذِنَ لَهَا فَفَعَلَتْ فَلَمَّا رَأَتْ ذَلِكَ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ أَمَرَتْ بِبِنَاءٍ فَبُنِيَ لَهَا قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا صَلَّى انْصَرَفَ إِلَى بِنَائِهِ فَبَصُرَ بِالأ بْنِيَةِ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا بِنَاءُ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ وَزَيْنَبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَالْبِرَّ أَرَدْنَ بِهَذَا مَا أَنَا بِمُعْتَكِفٍ فَرَجَعَ فَلَمَّا أَفْطَرَ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
Artinya: Dari Aisyah, semoga Allah ridha kepadanya, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bermaksud untuk i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Aisyah meminta izin kepadanya untuk ikut beri’tikaf. Beliau mengizinkannya. Kemudian Hafshah meminta Aisyah agar memohonkan izin kepada Rasulullah baginya. Aisyahpun mengabulkannya. Ketika Zainab binti Jakhsy melihat hal itu, ia menyuruh seseorang untuk membuatkan bangunan [tenda] baginya. Adalah Rasulullah apabila selesai shalat [shubuh] beliau masuk ke tempat i’tikafnya. Maka beliau melihat ada beberapa bangunan [tenda i’tikaf]. Beliau bertanya, “Apa ini?”. Mereka mengatakan, “Itu  bangunan [tenda tempat i’tikafnya] Aisyah, Hafshah dan Zainab!”. Rasulullah bersabda, “Apakah kabaikan yang kalian inginkan dengannya? Sungguh aku tidak akan jadi ber-i’tikaf!”. Kemudian beliau pulang. Tatkala lebaran, Rasulullah i’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal”. (Hadits Sahih Riwayat Bukhari-Muslim dan yang lainnya)
Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam membuat khiba' untuk dirinya, begitupun para istrinya setelah beliau wafat, mereka membuat khiba' untuk diri mereka.

Jadi membuat khiba' adalah sunnah bagi seorang yang I'itikaf. Didalamnya ia sibuk dengan rabbnya baik dengan berdoa, dzikir dan sholat ataupun dengan amal sholeh lainya.





130.  Hukum Berdiri Dipintu/Diserambi Masjid  Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf
Shofiyah Radhiyallahu 'Anha Meriwayatkan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari Dan Muslim Dari Ali Bin Husain Sesungguhnya Shofuyah Mengabarkanya: " Bahwa Ia menjenguk Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang sedang I'tikaf kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   berbicara dengannya beberapa sa'at. Kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri dengannya dan menciumnya. Ketika didepan pintu masjid dua orang laki-laki melihatnya, dan kedua laki-laki tersebut mempercepat jalanya kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   bersabda:" tenanglah kalian, sesungguhnya dia adalah shofiyah, mereka menjawab: Maha suci Allah wahai Rasulullah, Rasulullah menjawab: "sesungguhnya syetan mengalir besama aliran darah anak cucu adam dan yang aku takutkan muncul prasangka didalam hati kalian ".
Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ingin membela dirinya ketika mereka melihatnya bersama dengan seorang perempuan dan beliau ingin agar mereka berdua agar tidak menyangka bahwa perempuan itu adalah bukan istrinya.
Dan yang kita jadikan hujjah disini adalah Rasulullah pergi kepintu masjid yaitu di teras masjid bersama istrinya shofiyah sedangkan beliau dalam keadaan I'tikaf.


 
131.  Kapan Seorang Yang I'tikaf Mulai Masuk Masjid?
Seorang yang ingin I'tikaf mulai masuk masjid sejak terbenam matahari  dihari ia mau melakukan I'tikaf. contohnya ia ingin I'tikaf Sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon maka ia masuk masjid  sebelum terbenam matahari dihari ke dua puluh Ramadhon karena malam ke dua puluh satu adalah termasuk dari hari ke dua puluh satu.




132.  I'tikaf Wanita Yang Mengalami Darah Istihadhoh
Wanita yang istihkadhoh bukan seperti wanita yang haid. Wanita yang sedang haid tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa sedangkan wanita yang keluar darah istikhadhohnya dia harus shalat, harus puasa dan ia boleh membaca al-qur'an. Karena 'istikhadhoh' adalah al-‘irq bukan haid sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah shollllahu 'alaihi wasallam.
Al-‘irq artinya istikhadhoh yaitu luka yang ada dalam rahim yang kemudian mengeluarkan darah melalui kemaluan dan itu bukan seperti haid. Dan adapun haid datang dari lobang rahim. Dan ia datang pada perempuan di setiap bulan satu kali. Beda halnya dengan istikhodhoh ia kadang-kadang terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebagaimana yang terjadi disebagian shohabiyyah (sebagian wanita dizaman Rasulullah), mereka mengalami istikhadhoh kadang-kadang tujuh tahun. 
Maka boleh bagi wanita yang istikhadhoh untuk melakukan I'tikaf, dan itu tidak membatalkan I'tikaf jika darah keluar. Seperti yang Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata: " telah beri'tikaf  salah satu istri Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   sedangkan ia mengalami istikhadhoh, ia melihat darah, dan kadang-kadang ketika ia shalat ia meletakkan tempat kecil dibawahnya".
Jadi, perempuan yang istikhadhoh boleh beri'tikaf, dan darah istikhadhohnya keluar tidak menjadikan I'tikaf atau shalatnya batal.





133.  Keadaan Orang Yang I'tikaf Didalam Masjid
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   berkata: "Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   apabila masuk sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhon beliau menghidupkan malamnya dan menguatkan ikat pinggangnya serta membangunkan keluarganya".
‘Aisyah Radhiyallahu Anha Berkata Didalam Hadits Yang Diriwayatkan Muslim: " Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersungguh-sungguh di Sepuluhhari terakhir lebih dari hari-hari yang lainya.".
Yaitu : bersungguh-sungguh dalam ibadah. Maka sunnah bagi orang yang sedang I'tikaf untuk tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang bukan ibadah. Sebagian manusia menjadikan I'tikaf sebagai kesempatan untuk saling mengenal antara satu sama lain. Menghabiskan waktunya untuk kumpul-kumpul dan cerita-cerita. Ini menghilangkan maksud dan niat dari I'tikaf. Maksud I'tikaf adalah meninggalkan segalanya untuk beribadah kepada Allah Subuhanahu Wata’ala. I'tikaf adalah madrasah pendidikan yang sangat tinggi untuk mendidik diri seorang hamba didalamnya seperti diam yang menjadi perhiasan bagi laki-laki, dan membina diri seorang yang I'tikaf untuk bersungguh-sungguh dan berijtihad sekuat mungkin untuk sabar dalam ketaatan pada Allah Subuhanahu Wata’ala, dan untuk mengasingkan diri bersama Allah ta'ala dan berdoa pada Allah secara diam dan membaca al-qur'an serta shalat didalam khiba'nya.
Tempat I'tikaf adalah madrasah pendidikan yang agung, akan keluar darinya hamba yang semakin kuat imanya, semakin tinggi derajatnya disisi Allah Subuhanahu Wata’ala. Maka tidak perlu bagi seorang yang sedang I'tikaf untuk menyibukkan diri selain ibadah dan ta'at pada Allah.

134.  Kapan Seorang Yang I'tikaf Masuk Kedalam Khiba'nya
Telah dipaparkan sebelumnya tentang makna khiba'. Dan seorang yang I'tikaf masuk kedalam khiba'nya adalah setelah fajar hari kedua puluh satu. Sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha didalam shohihain
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ .
Artinya:  ia berkata: " Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam jika telah selesai shalat fajar maka beliau masuk kedalam khiba'nya”. (H.R Bukhari 2041, Muslim 1173)
Dan didalam riwayat lain : " Apabila telah selesai shalat shubuh beliaupun masuk kedalam tempat beliau I'tikaf". Yaitu khiba' yang menjadi tempat beliau beribadah.
Ini berbeda dengan seorang yang masuk kedalam masjid untuk I'tikaf. Beliau masuk kedalam masjid sebelum terbenam matahari di hari yang ke dua puluh di Bulan Ramadhon dan masuk kedalam khiba'nya setelah mendirikan shalat subuh. Dan ini hukumnya mustahabbun.

135.  Hukum Orang Yang Bernazdar Untuk Beri'tikaf.
Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa I'tikaf adalah sunnah bukan wajib. Akan tetapi jika seorang hamba bernadzar untuk I'tikaf maka hukumnya akan menjadi wajib karena seorang yang bernadzar untuk I'tikaf ia mengharuskan dirinya kepada sesuatu yang tidak diwajibkan untuknya. Jika ia berkata: "aku bernadzar untuk I'tikaf" maka I'tikaf itu akan menjadi wajib untuknya sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dari Umar Radhiyallahu 'Anhu

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهمَا أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
sesungguhnya Ia Berkata: " Aku bertanya Nabi shollllahu 'alaihi wasallam, aku berkata: " Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernadzar untuk I'tikaf satu malam dimasjid haram ketika zaman jahiliyyah, maka Nabi menjawab: "Tunaikan Nadzarmu"

Oleh karena itu, barang siapa yang bernadzar untuk I'tikaf maka wajib baginya untuk beri'tikaf. Jika ia telah menentukan waktunya maka ia harus I'tikaf di hari yang telah ia tentukan itu.



 
136.  Hukum Memutuskan I'tikaf
Mayoritas ahli ilmu berkata  : " Makruh hukumnya memutuskan I'tikaf .
Imam Malik berkata: “ Barang siapa yang berniat untuk I'tikaf dan masuk kedalamnya maka haram untuk memutuskanya”, karena Imam malik Rahimahullah  berkata: " ada sebagian ibadah yang hukumnya mustahabbun yang apabila seseorang masuk kedalamnya maka akan menjadi wajib baginya, diantaranya adalah i'tikaf
Abu Su'ud Berkata Dalam Kitabnya Al-Marooqy:
Dan ibadah sunnah tidak tidak disyari'atkan untuk menjadi keharusan
Didalam yang tidak ditentukan untuk menjadi taqarrub
Sholat kita, Puasa kita dan haji kita
Umrah kita dan begitu juga I'tikaf kita.
Lima permasalahan ini menurut Imam malik: "Barang siapa yang telah masuk didalamnya maka wajib baginya untuk menyempurnakannya, lima permasalahan itu adalah Sholat sunnah, Puasa sunnah, haji sunnah, umrah sunnah dan I'tikaf.
Dan yang rojih adalah ibadah tatawwu' yang kemudian seseorang mengharuskan dirinya untuk melakukan tatawwu' itu, seperti I'tikaf. jika ia ingin maka ia I'tikaf dan jika ia ingin putuskan maka tidak apa-apa tapi makruh hukumnya memutuskan ibadah, ini berdasarkan Firman Allah Subuhanahu Wata’ala:
Artinya: " dan janganlah engkau batalkan amal-amal kalian"




137.      Hukum Mengeluarkan Sebagian Badan
    Dari Masjid Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf

Seperti kepala atau tangan atau salah satu kaki maka itu tidak akan memutuskan I'tikaf seseorang kecuali jika ia mengeluarkan seluruh badanya dari masjid, ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha   didalam shohihain Ia Berkata: "Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengeluarkan kepalanya sedangkan beliau dalam I'tikaf kemudian aku mengatur dan merapikan rambutnya sedangkan aku dalam keadaan haid".



138.  Hukum Persyaratan Didalam I'tikaf
Persyaratan adalah niat sebelum masuk I'tikaf untuk melaksanakan suatu keperluan. Contohnya: dia ingin menemui seseorang di malam yang ke dua puluh lima  dan ia berniat itu sebelum ia beri'tikaf bahwa ia akan keluar dihari itu untuk menemui si fulan kemudian kembali untuk beri'tikaf
Imam Syafi'i Dan Imam Ahmad Berkata: “ Tidak apa-apa bersyarat dalam I'tikaf ”. Mereka berdua membolehkanya.
Imam Malik Berkata: “ Tidak boleh bersyarat dalam I'tikaf ”, alas an beliau karena ini belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam juga para sahabatnya yang I'tikaf setelah beliau. Dan inilah yang rojih "sesungguhnya tidak benar bersyarat dalam I'tokaf”.
Jika seorang yang sedang I'tikaf keluar untuk kebutuhan yang harus ia tunaikan, itu tidak menjadikan I'tikafnya putus. Adapun yang tidak menjadi kebutuhan  maka tidak boleh ia keluar dari masji . jika ia keluar dari masjid kepada sesuatu yang tidak menjadi kebutuhanya sekalipun ia telah bersyarat sebelum I'tikaf maka I'tikafnya akan terputus.




139.                 Hukum I'tikaf Dimasjid Yang Telah Ditinggalkan,
         Yang Tidak Didirikan Lagi Shalat Lima Waktu Didalamnya

Tidak boleh I'tikaf didalam masjid ini, karena tidak ada I'tikaf kecuali didalam masjid yang didalamnya didirikan Shalat Lima Waktu  karena jika I'tikaf disitu maka perlu keluar disetiap waktu shalat untuk melaksanakan shalat dimasjid lain.  Dan karena Shalat Jama'ah adalah wajib bagi semua laki-laki baik itu bagi yang bermukim (tidak melakukan perjalanan) ataupun bagi yang sedang dalam perjalanan. Begitupun bagi yang sedang I'tikaf atau yang tidak sedang I'tikaf.




140.        Hukum I'tikaf  Dimasjid Yang Tidak Didirikan Shalat Jum'at Didalamnya Tapi Didirikan Sholat Lima Waktu Didalamnya.

Ali Bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud Dan Ibnu Abbas berpendapat “ Bahwa tidak ada I'tikaf kecuali didalam masjid yang dilaksanakan Shalat Jum'at didalamnya, Sehingga tidak membutuhkan keluar dari masjid untuk melaksnakan shalat jum'at”.
Akan tetapi Sa’ied Bin Jubair dan Imam Malik didalam salah satu Riwayatnya berpendapat “ Bahwa boleh I'tikaf didalam masjid yang tidak dilaksanakan Shalat Jum'at didalamnya tapi didirikan Shalat Lima Waktu.
Dan untuk kehati-hatian bagi seorang yang I'tikaf keluar dari khilaf tersebut, agar I'tikaf dimasjid yang didirikan Shalat Jum'at didalamnya.




141.  Hukum Keluar Dihalaman Masjid Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf
aedah dikalangan ahlul ilmi: " sesungguhnya pagar masjid adalah bagian dari masjid. Dan semua yang dijadikan bagian dari sesuatu maka diambil hukum dari sesuatu itu".
Artinya: "halaman masjid adalah bagian dari masjid dan boleh bagi orang yang I'tikaf untuk keluar kehalaman itu. dan itu tidak mengapa.
142.  Hukum Melakukan Jual Beli Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf
Contohnya seseorang diwasiatkan oleh temannya untuk menyempurnakan akad tertentu atau membeli barang tetentu untuknya.
Imam malik berkata: Jika itu sesuatu yang ringan maka tidak mengapa. Dan jika menjadikan I'tikafnya kemungkinan besar akan menjadi perkara jual beli maka tidak perlu seorang yang I'tikaf untuk melakukan itu. Karena itu akan menghilangkan niat dan maksud I'tikafnya.
seorang yang I'tikaf membeli kebutuhanya, maka ini tidak apa-apa beda halnya dengan ia membeli sesuatu yang bukan kebutuhan I'tikafnya seperti untuk diperdagangkan atau yang lainya, maka ini yang dimakruhkan oleh ahlul ilmi.
143.  Kapan I'tikaf Di  Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhon Berakhir?
Apabila seseorang melakukan I'tikaf sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhon maka I'tikafnya akan selesai ketika matahari terbenam dihari terakhir Bulan Ramadhon. Jika dihari ke dua puluh sembilan anda mengetahui bahwa besok adalah hari 'ied maka boleh bagi anda untuk keluar dari I'tikaf ketika terbenam matahari. Dan tidak wajib bagi anda untuk berdiam dimasjid sampai subuh. Atau jika Ramadhon sempurna tiga puluh hari maka anda tidak boleh keluar dari I'tikaf kecuali setelah terbenam matahari dihari yang ke- tiga puluh itu.




145.  Hukum Melamar Dan Menikah Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf
Tidak apa-apa bagi seorang yang sedang I'tikaf untuk keluar melamar atau menikah dengan syarat tidak boleh memegang atau menyentuh istrinya. Yaitu akad saja. Tapi tidak menyentuhnya dan tidak menciumnya atau yang lainya.
Imam malik menashkan bahwa khitbah dan nikah bagi orang yang sedang I'tikaf adalah sah. Begitupun yang dinashkan oleh Imam syafi'I, sah untuk melakukan itu.




146.  Hukum Berwangi-Wangian Bagi Orang Yang I'tikaf
Tidak mengapa bagi orang yang sedang I'tikaf atau orang yang sedang puasa untuk berwangi-wangian.  Boleh baginya melakukan itu disiang hari Ramadhon atau dimalam harinya. Bahkan itu mustahabbun karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   membolehkan  berwangi-wangian bagi laki-laki.

147.  Hukum I'tikaf Dihari ‘Iedain
Sebagian ahlul ilmi mengatakan bahwa I'tikaf disyaratkan harus puasa. Ia berkata bahwa tidak boleh I'tikaf dihari ‘iedain. Karena di dua hari itu tidak diperbolehkan puasa.  Akan tetapi perkataan yang rojih adalah bahwa boleh I'tikaf tanpa puasa maka boleh I'tikaf dihari ‘iedain dan tidak puasa di kedua hari itu.




148.  Hukum I'tikaf Diselain Masjid
Tidak sah I'tikaf diselain masjid[5] berdasarkan perkataan 'Aisyah Radhiyallahu ‘Anha: "tidak ada I'tikaf selain didalam masjid".




149.  Hukum Orang Yang Melakukan Dosa Besar Ketika Ia Ber'itikaf
Dosa besar yang dimaksud disini adalah seperti mencuri, zina dan minum khamar. Imam Malik, Imam Syafi'i Dan Imam Abu Hanifah Berkata: “ Dosa besar akan memutuskan I'tikaf seseorang karena maksiat menghilangkan maksud dan niat I'tikaf yang dimaksudkan beribadah pada Allah Subuhanahu Wata’ala. Jika ia melakukan dosa besar maka ia telah melakukan hal yang memutuskan I'tikafnya, dan I'tikafnyapun menjadi batal.
 

150.  Hukum Perempuan Yang Sedang I'tikaf  Kemudian Ditalak  Oleh Suaminya,            Apakah Ia Harus Memutuskan I'tikafnya Atau Menyempurnakanya.

Imam Malik Berkata: “Seorang wanita yang sedang I'tikaf jika ditalak suaminya maka hendaknya ia menyempurnakan I'tikafnya sampai selesai Sepuluh hari Dibulan Ramadhon. Kemudian setelah itu menghabiskan sisa iddahnya dirumah suaminya”.
Adapun amam syafi'I berpendapat: “ Bahwa seorang wanita yang sedang I'tikaf jika ditalak suaminya maka wajib untuk memutuskan I'tikafnya untuk menunggu masa iddahnya dirumah suaminya”, dan ini yang rojih dan dzohir….dan ilimu disisi Allah.


 
151.  Hukum Menghadiri Majelis Ilmu Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf.
Imam Malik Dan Imam Ahmad Berkata: " Seorang yang sedang I'tikaf tidak boleh menghadiri majelis ilmu dan tidak boleh menulis ilmu. Karena maksud dari I'tikaf adalah bukan menuntut ilmu tapi untuk beribadah seperti shalat, puasa , baca al-qur'an dan dzikir kepada Allah Subuhanahu Wata’ala.
Imam Syafi'i Dan Sufiyan Ats-Tsaury Berkata: " Tidak apa-apa bagi seorang yang sedang I'tikaf untuk menghadiri majelis ilmu”. dan inilah pendapat yang benar karena majelis ilmu adalah ibadah orang yang sedang I'tikaf adalah sedang dalam ibadah dan mencari ilmu adalah ibadah.




152.  Kapan Orang Yang I'tikaf Diperbolehkan Keluar Dari Masjid?
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa I'tikaf selesai seiring dengan terbenamnya matahari dihari terakhir Bulan Ramadhon. Akan tetapi mustahabbun bagi orang yang sedang I'tikaf untuk tidak keluar dari masjid kecuali untuk shalat ‘ied, kemudian boleh pulang ke-keluarganya setelah itu. Dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   sebagaimana yang diriwayatkan 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha:
Artinya: “ Sesungguhnya Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam tidak keluar dari tempat I'tikafnya sampai datang waktu shalat ‘ied”.
Ini mustahabbun bukan wajib. Dan dari terbenam matahari dihari terakhir Bulan Ramadhon sampai Shalat ‘ied tidak dinamakan I'tikaf akan tetapi termasuk perkara mustabbun I'tikaf.
Saya berharap pada Allah Subuhanahu Wata’ala agar kita semua diizinkan untuk bisa I'tikaf di Sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhon. Dan semoga Allah menerima puasa, shalat, rukuk dan sujud kita, salawat untuk Nabi kita Muhammad Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam   dan juga untuk keluarga, dan para sahabatnya semuanya. Segala puji bagi Rabb Semesta Alam.


([1])  Lihat didalam buku : "Qowa'idul Ahkam 1/74/177, Al-furuq 61 no 58, Al-qowa'idul Fiqhiyyah al-Mustakhrijiyyah  dari kitab I'lamu' Muwaqqi'in 'An Rabbil 'Alamin hal 500, Al-qowa'id Wal-usul al-Jaami'ah Lissa'di hal 10
([2] ) Adapun yang mengatakan makruh Mereka berdalil  dengan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau. (HR Ibnu Khuzaimah, no. 2224)
Hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhu yang lainnya, beliau mengatakan,
لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ
Artinya:“Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445)
([3] ) Adapun Dalil lain yang diajukan oleh yang mengatakan sunnah adalah Firman Allah ta’ala,
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ
Artinya: “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).
فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا
Artinya: “Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
Dalam Shahih Al Bukhari (2033) dan Muslim (1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
Artinya: Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan beri’tikaf, di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah Hafshah, dan kemah Zainab.” (H.R Bukhari Nomor 1929, 1893)
([4] )  H.R Bukhari Nomor 1899, 2035 Dan Muslim 2175
فعن صَفِيَّةَ زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا . أي : ليردها إلى منزلها
[5] . Selain masjid yang dimaksud disini adalah seperti di rumah, di asrama, di apartemen, di hotel dan sebagainya. I’tikaf di selain masjid atau musholla hukumnya tidak sah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar