108. Hukum Bersiap-siap Untuk I'tikaf
Hukum bersiap-siap
untuk I'tikaf sama
dengan hukum I’tikaf, yaitu sunnah. Karena
menyiapkan segala hal yang berkaitan dengan I’tikaf adalah wasilah untuk bisa
melaksanakan I’tikafdengan sempurna dan nyaman, sedangkan wasilah memiliki
hukum seperti hukum tujuan (maksud), oleh karena itu para usuliyyin berkata:
الوسائلُ لها حُكمُ المقاصِدِ ([1]) ما لا يتم
واجب إلا به فهو واجب, وكذلك في المحروم والمكروه والمباح والمستحب
Artinya: Wasilah memiliki hukum maksud, sesuatu yang
tidak akan sempurna kewajiban kecuali denganya maka berarti itu adalah wajib,
begitupun dalam hal haram, makruh, mubah dan mustahabbun.
109. Apakah I'tikaf Itu?
I'tikaf adalah berdiam diri dalam masjid dengan
niat mendekatkan diri pada Allah Subuhanahu Wata’ala dan beribadah pada-Nya.
catatan:
I'tikaf merupakan
ibadah seperti perkataan Ibrahim alaihi ssalam:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ
التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
Artinya: (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata
kepada bapaknya dan kaumnya: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun
beribadat kepadanya?" (Q.S Al-Anbiya’ : 52}
110. Hukum I'tikaf
I'tikaf Sunnah Nabawiyah dan Syari'ah
Rabbaniyah yang disebutkan Allah dalam kitabnya. Allah subuhnahu wata'ala
berFirman:
{وَطَهِّرْ
بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Artinya:
Dan Sucikanlah Rumahku untuk orang-orang yang tawaf, shalat, ruku’ dan
sujud (Q.S Al-Haj: 26)
Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam juga
telah melakukan I'tikaf sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari
كَانَ
يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya : “Rasulullah Shollallahu 'Alaihi
Wasallam melakukan i’tikaf disepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon sampai
beliau wafat” (H.R Bukhari, Hadits Nomor
2027, Muslim Hadits Nomor 1172)
111. Rukun I’tikaf
Adapun
rukun I’tikaf ada dua, yaitu:
1.Niat, Rasulullah
Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya setiap
amalan itu (syah atau tidaknya) tergantung dengan niatnya dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR.Al-Bukhari no 53,
5070 dan Muslim hadits no1907)
Dan Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
{
وَمَا أُمِرُوا إلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ }
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama". (Q.S Al-bayyinah: 5)
2.
Berdiam di masjid, Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
وَلَا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya:
Dan janganlah kamu campuri mereka itu (Istri-istrimu), sedang kamu beri'tikaf dalam
mesjid. (Q.S Al-baqarah : 187)
112. Hukum I'tikaf Di Masjid Haram Dan Masjid
Nabawi
Hukumnya adalah mustahabbun berdasarkan ijma'
ulama dan tidak ada seorang ulamapun yang menyelisihi itu. Berdasarkan Firman
Allah Subuhanahu Wata’ala:
{وَطَهِّرْ
بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}
Artinya:
Dan Sucikanlah Rumahku untuk orrang-orang yang tawaf, shalat, ruku’ dan
sujud (Q.S Al-Haj: 26)
Ini
adalah dalil I'tikaf dimasjid haram. Adapun dalil I'tikaf di Masjid Nabawi
adalah perbuatan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau telah
beri'tikaf di masjidnya (Masjid Nabawi)
sebagaimana yang dikatakan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha didalam hadits yang Diriwayatkan Bukhari dan
Muslim.
113. Hukum I'tikaf Diselain Masjid Haram Dan
Masjid Nabawi
Dalam
hal ini, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahlul ilmi. Diriwayatkan dari
Hudzaifah Al-Yaman dan sa’ied bin Musayyib Sesungguhnya mereka berdua berkata:
tidak ada I'tikaf kecuali di Masjid Haram dan Masjid Nabawi, mereka berdua
tidak membolehkan I'tikaf kecuali dikedua masjid itu.
Adapun
ahlul ilmi dari para sahabar secara umum seperti Ali Bin Abi Thalib, Abdullah
Bin Mas'ud , Abdullah Bin Abbas dan umumnya fuqaha' seperti Imam malik, Imam
Syafi'i dan Imam Ahmad mereka berpendapat: " sesungguhnya boleh I'tikaf di
semua masjid yang didalamnya didirikan sholat jum'at, ini berdasarkan Firman
Allah Subuhanahu Wata’ala:
وَلاَ
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: Dan janganlah kalian menggauli mereka
sedangkan kalian sedang i’tikaf di masjid (Q.S Al-baqarah : 187)
Allah
Subuhanahu Wata’ala mengglobalkan masjid dengan bentuk jama'. Maka dengan itu
masjid secara umum, baik itu masjid haram, Masjid Nabawi ataupun masjid-masjid
yang lain dan inilah yang rojih.
Sa’id
Bin Zubair Berkata: " boleh i'tikaf didalam masjid yang didalamnya
didirikan shalat lima waktu saja seperti zawiyah, masjid kecil (mushollah),
maka dibenarkan I'tikaf didalamnya. Dan keluar shalat jum'at dimasjid besar
kemudian kembali lagi ketempat i'tkaf untuk melanjutkan I'tikaf.
114. Apakah Mensyaratkan Puasa Sebagai Syarat
Syahnya I'tikaf?
Abu
Huirairah, Abdullah Bin Umar Dan 'Aisyah Radhiyallahu Anhum Berpendapat :
“Sesungguhnya tidak ada I'tikaf kecuali dengan puasa ".
Adapun
Ali Bin Abi Tholib, Abdullah Bin Mas'ud, Imam Malik, Imam Syafi'i Dan Imam
Ahmad Serta Yang Lainya Berpendapat: " Sesungguhnya boleh i'tikaf walaupun
tanpa puasa". Dan inilah yang benar.
Abdullah
Bin Abbas Berkata: Tidak ada puasa bagi orang yang i'tikaf kecuali ia
mengharuskan dirinya untuk puasa". Yang menunjukkan itu adalah apa yang
Diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
عَنْ
نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَذَرَ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ أُرَاهُ قَالَ
لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْفِ
بِنَذْرِكَ
Artinya: “ Dari Nafi' Dari Ibnu Umar
sesungguhnya beliau berkata: aku bernazdza diwaktu jahiliyah untuk i'tikaf satu
malam dimasjid haram, kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda padanya: "tunaikan
nadzarmu".
Umar
Rahdiyallahu ‘anhu bernadzar untuk i'tikaf satu malam. Dan malam dimulai sejak
terbenamnya matahari dan saat ini bukan dibulan puasa, , kemudian Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda
padanya: "Tunaikan Nadzarmu". Yaitu: "i'tikaflah!"
Itu
menunjukkan bahwa i'tikaf tidak mensyaratkan harus puasa. Kita bisa memetik
pelajaran dari sini bahwa orang yang
sedang sakit kemudian berbuka maka itu tidak membatalkan i'tikafnya dikarenakan
terputus puasanya.
115. Hukum Jima' Bagi Orang Yang Sedang
I'tikaf
Jima'
bagi orang yang sedang I'tikaf adalah haram dan itu akan membatalkan I'tikaf.
Berdasarkan Firman Allah Subuhanahu Wata’ala:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya: Dan janganlah
kamu campuri mereka itu (Istri-istrimu), sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa.". (Q.S Al-baqarah : 187)
Yaitu
jangan menyetubuhinya. Maka haram bagi orang yang sedang I'tikaf menggauli
istrinya.
116. Hukum Pendahuluan Jima' Bagi Orang Yang
Sedang I'tikaf
Muqoddimah Jimak yang
dimaksud disini adalah Seperti
Mencium, Memandang Dengan Pandangan Syahwat Dan Sebagainya. Maka hukumnya adalah
para ulama berselisih pendapat mengenai hukum mencium istri
ketika sedang berpuasa ditafsil (diperinci ) sebagai berikut :
1.
Menurut Sa’id Bin Al
Musayyab,seperti yang diceritaan oleh Syeh Al Khutobi, orang yang mencium saat
puasa, maka puasanya batal, dan harus mengqodho’ puasa tersebut, pendapat yang
sama diriwayatkan oleh Imam Al Mawardi dari syeh Muhammad bin Al Hanafiyah dan
Ibnu Sirin.Ini juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar.
2.
Imam Malik memakruhkan
hal tersebut, baik bagi anak muda atau orang yang tua.
3.
Sebagian yang lain
memperbolehkannya bagi orang yang sudah tua saja.Ini adalah pendapat Ibnu
Abbas.
4.
Abu Tsur berpendapat :
jika ia khawatir akan “ melewati batas “ jika mencium, maka tidak
diperbolehkan mencium.
5.
Madzhab Syafi’i
mentafsil masalah ini sebagai berikut :
- Dimakruhkan mencium, baik itu dibibir atau pada anggota badan lain saat sedang berpuasa, jika dikhawatirkan akan menyebabkan keluarnya mani atau melakukukan hubungan intim.
- Apabila tidak dikhawatirkan akan keluar mania tau jima’, maka hukumnya khilaful aula ( lebih baik tidak dilakukan ), sebagai langkah antisipasi, karena mungkin saja akhirnya terangsang, lagi pula disunatkan bagi orang yang sedang berpuasa untuk meninggalkan segala macam syahwat.
Imam
Malik Dan Ahlul Ilmi Secara Umum Berpendapat bahwa tidak boleh bagi orang yang
sedang i'tikaf untuk melakukan perbuatan yang menuju kebada jima' karena
i'tikaf landasanya adalah ibadah dan berpaling dari dunia secara utuh. Adapun
muqaddimah jima' adalah perkara dunia yang akan menghilangkan niat atau maksud
i'tikaf. Oleh karena itu, orang yang sedang i'tikaf tidak boleh melihat istinya
dengan pandangan nafsu dan tidak boleh menciumnya, juga tidak boleh memegangnya
dengan nafsu karena itu akan menghilangkan niat dan maksud dari i'tikaf.
117. Hukum I'tikaf Bagi Perempuan
Adapun hukum I’tikaf bagi perempun adalah
boleh, hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
عَنْ عَائِشَةَ
- رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ
الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
Artinya: "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf
pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkannya.
Kemudian i'tikaf dilanjutkan oleh istri-istri beliau." (H.R
Bukhari Nomor 1922 dan Muslim Nomor 1172).
Hal itu menunjukkan bahwa i’tikaf disyariatkan
bagi kaum laki-laki dan wanita.
Sebagian
ahlul ilmi memakruhkan perempuan untuk ber-i'tikaf dimasjid. Ini perkataan Imam
Abu Hanifah An-nu'man ketika beliau berkata: " Seorang wanita jika ingin
beri'tikaf maka i'tikaflah dirumahnya yaitu di tempat ia sholat didalam rumahnya”([2])
Adapun
Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Syafi'i juga para Sahabat Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam seperti
ibnu abbas, 'Aisyah, Hafsah, Zainab dan yang lainya mengatakan: " Bahwa
boleh bagi perempuan untuk i'tikaf dimasjid dengan syarat tidak terlalu
menghiasi diri, tidak berwangi-wangian dan tidak menampakkan dirinya didepan
laki-laki serta tidak menjadikan keberadaanya dimasjid menjadi fitnah bagi yang
lainya".([3])
Jika
seperti itu, maka boleh bagi perempuan untuk i'tikaf sekalipun ia pemudi (wanita
remaja). Tidak ada perbedaan bagi perempua remaja dan perempuan tua dalam
masalah i'tikikaf, berdasarkan riwayat bukhari dan muslim dari jalur A'isyah
Radhiyallahu 'anha yang kita sebutkan diatas.
Didalam Shohihain diriwayatkan dari ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata : Hafshah minta izin kepada Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam untuk
ber'itikaf kemudian beliau mengizinkanya kemudian shofiyah melihat khibah
hafsah iapun membuat khibah, kemudian Zainab melihat khibah Shofiyah dan iapun
membuat khibah, ketika Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam keluar beliau bersabda: apa ini? Kemudian
dikaabarkankeadanya: ini khibah Hafsah, ini khibah Zainab, ini khibah Shofiyah.
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
pun mengetahui maksud mereka adalah cemburu dan saling bersanding.
Kemudian beliau bersabda: " apakah kebaikan yang kalian inginkan?"
kemudian beliau menyuruh mereka untuk kembali kerumahnya masing-masing.
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam memutuskan i'tikafnya (tidak I’tikaf) pada
tahun itu untuk memperbaiki keharmonisan para istrinya.
118. Hukum Perempuan Yang Kedatangan Haid
Ditengah-Tengah I'tikaf
Pendapat
ahlul ilmi yang paling dzohir dalam hal ini adalah terputus I'tikaf wanita yang
kedatangan haid. Dan masalah ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama
akan tetapi yang paling dzohir dari pendapat-pendapat itu adalah terputus
I'tikaf perempuan itu dan harus mengqodho'nya dihari yang lain, karena ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha tidak masuk tidak
masuk kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ketika ia haid. Sebagaimana yang
Diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata
:
Artinya: “Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam mengeluarkan kepalanya
sedangkan beliau sedang I'tikaf kemudian aku merapikan rambutnya sedangkan aku
sedang haid".
Arjaluh yaitu merapikan, memperbaiki dan menghiasinya.
Kalau seandainya perempuan haid boleh I'tikaf maka pastilah ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha telah beri'tikaf
bersama Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam saat itu.
Perempuan
yang sedang I'tikaf kemudian kedatangan haid maka ia harus keluar dari masjid
dan pulang kerumahnya.
Masalah ini berbeda dengan perempuan haid
kemudian masuk masjid. Kita harus membedakan keduanya. Maka boleh bagi wanita
haid untuk masuk masjid tapi tidak boleh I'tikaf. Karena perempuan haid masuk
masjid hanya sebentar dan ia bisa menjamin agar darah haid tidak menetes keluar
di masjid. Sedangkan perempuan haid yang I'tikaf menginap dalam masjid
berhari-hari dan bermalam-malam, tidak bisa menjamin darah haidnya untuk tidak
menetes keluar dimasjid.
118. Waktu Yang Paling Afdhol (Utama) Untuk
I'tikaf
Waktu
yang paling utama untuk I'tikaf adalah Sepuluh hari terakhir di bulan ramadhon.
Karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
I'tikaf Sepuluh hari kedua di bulan ramdhon, tatkala mengetahui bahwa
lailatul qadr berada di Sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon beliaupun
memerintahkan para sahabatnya untuk kembali bersamanya kerumahnya
masing-masing, kemudian mereka I'tikaf di Sepuluh hari terakhir dibulan
Ramadhon.
119.
Hukum
Beri'tikaf Di Sepuluh Hari Pertama Dan Sepuluh Hari Kedua Dibulan Ramadhon
Seorang
yang ingin I'tikaf sebulan penuh atau dua puluh hari terakhir dibulan Ramadhon
maka itu tidaklah mengapa bahkan itu mustahabbun dan akan mendapatkan ganjaran
disisi Allah, berdasarkan hadits yang Diriwayatkan Bukhari dari abu hurairah
radhiyAllahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam I'tikaf Sepuluh hari dibulan ramadhon,
ketika tahun yang didalamnya beliau wafat beliau I'tikaf 20 hari.
Itu
menunjukkan boleh I'tikaf Sepuluh hari kedua dibulan ramadhon, begitu juga
Sepuluh hari pertama. akan tetapi sunnahnya adalah di sepuluh hari terakhir:
عَنْ أَبِى سَلَمَةَ
بْنِ عَبْدِالرَّحْمَنِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ قُلْتُ هَلْ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَذْكُرُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ قَالَ نَعَمِ اعْتَكَفْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ قَالَ
فَخَرَجْنَا صَبِيحَةَ عِشْرِينَ قَالَ فَخَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَبِيحَةَ عِشْرِينَ فَقَالَ إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ
الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي
وِتْرٍ فَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ وَمَنْ كَانَ
اعْتَكَفَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَرْجِعْ
فَرَجَعَ النَّاسُ إِلَى الْمَسْجِدِ وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءِ قَزَعَةً قَالَ
فَجَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ وَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَسَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الطِّينِ وَالْمَاءِ حَتَّى رَأَيْتُ
أَثَرَ الطِّينِ فِي أَرْنَبَتِهِ وَجَبْهَتِهِ
Artinya: Dari Abu
salamah bin Abdurahman, ia berkata; “Aku bertanya kepada Abu Sa’id al Khudry,
‘apakah anda mendengar Rasulullah menerangkan tentang lailatul qadar?’. Ia
berkata, ‘Ya!, kami beri’tikaf bersama Nabi saw. pada sepuluh hari pertengahan
di bulan Ramadhan. Kemudian kami keluar pada pagi hari ke dua puluh [Ramadhan].
Rasulullah menyampaikan khuthbah kepada kami pada pagi hari ke duapuluh itu.
Beliau bersabda, ‘sungguh telah diperlihatkan kepadaku lailatul qadar tetapi
kemudian aku dilupakan kepadanya. Maka carilah oleh kalian pada sepuluh hari
terakhir pada hari yang ganjil. Karena sesungguhnya aku melihat diriku [pada
malam qadar itu] sujud di atas air dan tanah. Barangsiapa yang beri’tikaf
bersama Rasulullah maka kembalilah’. Maka orang-orang kembali lagi ke mesjid.
Kami tidak melihat di langi ada gumpalan awan. Tetapi tiba-tiba datang awan
berarak lalu turun hujan. Kemudian diiqamatkan untuk shalat. Maka Rasulullah
sujud [dalam shalatnya itu] di atas tanah dan air sehingga aku melihat bekas
tanah dan air di ujung hidung dan dahi Rasulullah”. (H.R Bukhari Nomor 1899)
120. Hukum 'Itikaf Diselain Bulan Ramadhon
Boleh
I'tikaf diselain bulan Ramadhon secara umum. Allah Subuhanahu Wata’ala
berFirman:
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ
وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Artinya:
Dan Sucikanlah Rumahku untuk orang-orang yang tawaf, shalat, ruku’ dan
sujud (Q.S Al-Haj: 26)
Allah
Subuhanahu Wata’ala tidak mensyaratkan I'tikaf itu dibulan Ramadhon saja. Dan
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Umar Radhiyalahu 'Anhu bernadzar
untuk I'tikaf satu malam dimasjid haram kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda kepadanya: tunaikan
nadzarmu. Dan itu bukan pada ramadhon. Ini menunjukkan bahwa boleh I'tikaf
diselain bulan ramadhon.
Dan
untuk lebih jelasnya seperti yang diriwayatkan dalam shohihain dari ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata:
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
I'tikaf Sepuluh hari terakhir diBulan Ramadhon kemudian hafsah membuatkan
khibah untuknya, dan zainab juga membuatkan khibah untuknya maka Nabi
shollAllahu 'alaihi wasallam bersabda: "" kemudian Nabi Shollallahu
'Alaihi Wasallam keluar dari masjid dan I'tikaf sepuluh hari dibulan syawal”.
Dan
didalam riwayat bukahari disebutkan: " beliau I'tikaf sepuluh hari
terakhir dibulan syawal". Itu
menunjukkan bahwa boleh I'tikaf diselain bulan ramadhon.
121. Hukum Berbicara Dengan Istri
Ditengah-Tengan I'tikaf
Tidak
apa-apa seseorang berbicara dengan istrinya ditengah-tengah ia ber'itikaf.
Menanyakan keadaanya atau keadaan anak-anaknya serta keluarganya.semua itu
tidak mengapa, berdasarkan hadits yang Diriwayatkan Bukhari dan muslim didalam
shohihain: " Sesungguhnya Shofiyah Radhiyallahu 'Anhu menziarahi Nabi
Shollallahu 'Alaihi Wasallam yang sedang I'tikaf, kemudian Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam berbicara
denganya beberapa saat.
Itu
menunjukkan bahwa tidak apa-apa bagi seorang suami yang sedang I'tikaf
berbicara dengan istrinya.
122. Hukum Menyentuh Istri Tanpa Syahwat Ketika
Sedang I'tikaf
Tidak apa-apa bagi seorang yang sedang I'tikaf
untuk menjabat tangan istrinya atau dirapikan rambutnya oleh istrinya,
sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dan muslim, dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha ia Berkata : " Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam mengarahkan kepalanya kepadaku
sedangkan beliau didalam masjid kemudian aku rapikan rambutnya sedangkan aku
sedang haid."
A'isyah radhiyAllahu 'anha menyentuh Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau
tidak mengqodho' I'tikafnya dan itu tidak menjadikan I'tikafnya batal. Ini juga
tidak mengurangi pahala seorang yang I'tikaf.
123. Hukum Seorang Isrti Yang Menziarahi
Suaminya Yang Sedang I'tikaf
Hadits
Shohih Dari Shofiyah Radhiyallahu 'Anha sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari :
"Sesungguhnya beliau telah menziarahi Nabi ShollAllahu 'Alaihi Wasallam
yang sedang I'tikaf dan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melarang akan itu". [4]
Ini
menunjukkan bahwa boleh bagi seorang istri untuk menziarahi suaminya yang
sedang I'tikaf baik itu untuk ngomong-ngomong denganya tentang satu perkara
atau untuk membawakanya makanan atau untuk menanyakan keadaan dan kabarnya.
Semua itu tidak apa-apa dan juga tidak makruh.
124. Hukum Keluar Dari Masjid Bagi Orang Yang
Sedang I'tikaf
Seorang
yang sedang I'tikaf apabila keluar dari masjid
maka I'tikafnya akan batal kecuali karena ada keperluan. ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha berkata didalam
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: " Nabi shollAllahu 'alaihi wasallam
ketika I'tikaf tidak keluar dari masjid
kecuali karena ada keperluan ".
Beliau
tidak keluar untuk membeli barang-barang atau untuk menziarahi si fulan ataupun
tidak untuk yang lainya.
Tidak
boleh bagi orang yang sedang I'tikaf keluar masjid selamanya kecuali ada
kebutuhan syar'I yang dibenarkan.
125. Hukum keluar dari masjid untuk makan atau
minum atau membuang air.
Boleh bagi seorang yang sedang I'tikaf keluar
masjid untuk makan atau minum atau
membuang air, itu tidak apa-apa dan tidak akan membatalkan I'tikaf.
126.
Hukum
Menziarahi Orang Sakit Dan Mengantar
Janazah Bagi Orang Yang Sedang I'tikaf
Imam Malik Rahimahullah berkata: "Seorang yang I'tikaf tidak
boleh keluar untuk jenazah kedua orang tuanya, maka dari bab aulawiyyah untuk
tidak keluar mengantar jenazah yang lain”.
Akan
tetapi Imam Syafi'i, Imam Ahmad Dan Jam'ah Ahlul Ilmi berpendapat bahwa
boleh bagi seorang
yang sedang I'tikaf
untuk keluar kejanazah yang harus
ia hadiri seperti jenazah bapaknya, ibunya atau istrinya ataupun salah satu
anaknya. Maka boleh baginya untuk keluar dari tempat I'tikafnya. Dan itu tidak
menjadikan I'tikafnya terputus.
Dan
tidak boleh keluar untuk jenazah yang selain disebutkan diatas karena ia sedang
sibuk dengan I'tikaf.
Adapun menjenguk orang yang sedang sakit maka
tidak boleh bagi orang yang sedang I'tikaf untuk menjenguk orang yang sakit
kecuali jika ia mengetahui bapak atau ibunya yang sedang sakit itu dalam
keadaan gawat. Atau kemungkinan besar sakitnya itu akan menyebabkan ia
mwninggal. Maka dalam hal ini boleh bagi mu’takif untuk menjenguk mereka.
Apabila tidak ada yang menjaga ayah atau ibunya
yang sedang sakit, maka wajib baginya untuk memutuskan I'tikafnya karena
menjaga atau merawat orang tua adalah lebih utama dari I'tikaf.
127. Waktu Minimal Untuk I'tikaf
Ahlul
ilmi berbeda pendapat dalam hal ini. Ada yang mengatakan bahwa boleh I'tikaf sekalipun diantara dua
wktu shalat wajib yaitu tidak ada waktu minimal untuk I'tikaf sekalipun sepuluh
menit, Ini madzhab Imam ahmad didalam salah satu riwayat darinya.
Ada yang
mengatakan bahwa tidak ada I'tikaf kecuali sempurna sehari semalam.
Ada juga yang mengatakan bahwa boleh I'tikaf
semalam saja. dan ini batas minimal I'tikaf atau I'tikaf sehari penuh.
Imam bukhari Rahimahullah berkata didalam shohihnya: " Bab
orang yang I'tikaf semalam dimasjid haram" kemudian meriwayatkan dari
Umar Radhiyallahu 'Anhu : " Sesungguhnya ia bernadzar untuk beri'tikaf
semalam dimasjid haram kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda padanya: " tunaikan
nadzarmu".
128. Hukum Mengqodho' I'tikaf Bagi Orang Yang
Meninggalkanya
Apabila
ia selalu I'tikaf setiap tahun kemudian disuatu waktu ia meninggalkanya, maka
mustahabbun baginya untuk menggantinya (mengqodho') di selain Bulan Ramadhon
sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dan muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha ia Berkata : " Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam tidak I'tikaf disuatu
tahun kemudian beliau I'tikaf Sepuluh hari terakhir dibulan
syawal".
Beliau
mengqodho' I'tikafnya. Dan ini menjadi kaedah umum disetiap ibadah dan
keta'atan termasuk yang berbentuk
nafilah. Adapun yang berbentuk fardhu maka disyari'atkan bagi hamba yang
tertinggal ibadahnya untuk mengqodho'nya diwaktu yang lain.
Jika ia
lupa melaksanakan dua raka'at subuh maka mustahabbun untuk mengqodho'nya
setelah terbit matahari, begitu juga dengan shalat malam, mustahabbun untuk
mengqodho'nya disiang hari. Sebagaimana hadits yang diriwaytkan dari ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata : " Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
apabila ketiduran atau sibuk sehingga tidak sempat shalat malam maka beliau
shalat 12 raka'at disiang hari".
Hukum
ini umum disetiap ibadah baik dalam I'tikaf atau yang lainya.
129. Hukum Khiba' Bagi Orang Yang I'tikaf
Khiba'
adalah tempat berdiamnya orang yang I'tikaf untuk dirinya sendiri dan ia
berdiam diri didalamnya.
Sunnah
bagi orang yang I'tikaf untuk membuat khibah untuk dirinya yaitu tempat yang
membatasi dirinya dengan orang lain didalam masjid.
Diterangkan dalam Shahih Al-Bukhari (2033) dan
Muslim (1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah Radhiyallahu
Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي
أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ
وَخِبَاءُ زَيْنَبَ
Arinya: “Bahwasanya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan
beri’tikaf di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah Hafshah,
dan kemah Zainab.”
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ أَنْ يَعْتَكِفَ
الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ فَأَذِنَ
لَهَا وَسَأَلَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَسْتَأْذِنَ لَهَا فَفَعَلَتْ فَلَمَّا
رَأَتْ ذَلِكَ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ أَمَرَتْ بِبِنَاءٍ فَبُنِيَ لَهَا قَالَتْ
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ إِذَا صَلَّى انْصَرَفَ إِلَى بِنَائِهِ فَبَصُرَ بِالأ
بْنِيَةِ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا بِنَاءُ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ وَزَيْنَبَ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَالْبِرَّ أَرَدْنَ بِهَذَا مَا أَنَا بِمُعْتَكِفٍ
فَرَجَعَ فَلَمَّا أَفْطَرَ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
Artinya: Dari Aisyah, semoga Allah ridha
kepadanya, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bermaksud untuk i’tikaf pada
sepuluh hari terakhir Ramadhan. Aisyah meminta izin kepadanya untuk ikut
beri’tikaf. Beliau mengizinkannya. Kemudian Hafshah meminta Aisyah agar
memohonkan izin kepada Rasulullah baginya. Aisyahpun mengabulkannya. Ketika
Zainab binti Jakhsy melihat hal itu, ia menyuruh seseorang untuk membuatkan
bangunan [tenda] baginya. Adalah Rasulullah apabila selesai shalat [shubuh]
beliau masuk ke tempat i’tikafnya. Maka beliau melihat ada beberapa bangunan
[tenda i’tikaf]. Beliau bertanya, “Apa ini?”. Mereka mengatakan, “Itu
bangunan [tenda tempat i’tikafnya] Aisyah, Hafshah dan Zainab!”. Rasulullah
bersabda, “Apakah kabaikan yang kalian inginkan dengannya? Sungguh aku tidak
akan jadi ber-i’tikaf!”. Kemudian beliau pulang. Tatkala lebaran, Rasulullah
i’tikaf sepuluh hari di bulan Syawal”. (Hadits Sahih Riwayat Bukhari-Muslim dan
yang lainnya)
Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam membuat khiba' untuk dirinya, begitupun para
istrinya setelah beliau wafat, mereka membuat khiba' untuk diri mereka.
Jadi
membuat khiba' adalah sunnah bagi seorang yang I'itikaf. Didalamnya ia sibuk
dengan rabbnya baik dengan berdoa, dzikir dan sholat ataupun dengan amal sholeh
lainya.
130. Hukum Berdiri Dipintu/Diserambi
Masjid Bagi
Orang Yang Sedang I'tikaf
Shofiyah
Radhiyallahu 'Anha Meriwayatkan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari Dan
Muslim Dari Ali Bin Husain Sesungguhnya Shofuyah Mengabarkanya: " Bahwa Ia
menjenguk Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang sedang I'tikaf kemudian
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
berbicara dengannya beberapa sa'at. Kemudian Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam berdiri dengannya dan menciumnya. Ketika didepan pintu masjid
dua orang laki-laki melihatnya, dan kedua laki-laki tersebut mempercepat
jalanya kemudian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:" tenanglah kalian,
sesungguhnya dia adalah shofiyah, mereka menjawab: Maha suci Allah wahai
Rasulullah, Rasulullah menjawab: "sesungguhnya syetan mengalir besama
aliran darah anak cucu adam dan yang aku takutkan muncul prasangka didalam hati
kalian ".
Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ingin membela dirinya ketika mereka melihatnya
bersama dengan seorang perempuan dan beliau ingin agar mereka berdua agar tidak
menyangka bahwa perempuan itu adalah bukan istrinya.
Dan yang
kita jadikan hujjah disini adalah Rasulullah pergi kepintu masjid yaitu di
teras masjid bersama istrinya shofiyah sedangkan beliau dalam keadaan I'tikaf.
131. Kapan Seorang Yang I'tikaf Mulai Masuk Masjid?
Seorang
yang ingin I'tikaf mulai masuk masjid sejak terbenam matahari dihari ia mau melakukan I'tikaf. contohnya ia
ingin I'tikaf Sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhon maka ia masuk masjid sebelum terbenam matahari dihari ke dua puluh
Ramadhon karena malam ke dua puluh satu adalah termasuk dari hari ke dua puluh
satu.
132. I'tikaf Wanita Yang Mengalami Darah
Istihadhoh
Wanita
yang istihkadhoh bukan seperti wanita yang haid. Wanita yang sedang haid tidak
boleh shalat dan tidak boleh puasa sedangkan wanita yang keluar darah
istikhadhohnya dia harus shalat, harus puasa dan ia boleh membaca al-qur'an.
Karena 'istikhadhoh' adalah al-‘irq bukan haid sebagaimana yang telah
disabdakan Rasulullah shollllahu 'alaihi wasallam.
Al-‘irq
artinya istikhadhoh yaitu luka yang ada dalam rahim yang kemudian mengeluarkan
darah melalui kemaluan dan itu bukan seperti haid. Dan adapun haid datang dari
lobang rahim. Dan ia datang pada perempuan di setiap bulan satu kali. Beda
halnya dengan istikhodhoh ia kadang-kadang terjadi berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun sebagaimana yang terjadi disebagian shohabiyyah (sebagian wanita
dizaman Rasulullah), mereka mengalami istikhadhoh kadang-kadang tujuh
tahun.
Maka
boleh bagi wanita yang istikhadhoh untuk melakukan I'tikaf, dan itu tidak
membatalkan I'tikaf jika darah keluar. Seperti yang Diriwayatkan Bukhari dan
Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha ia Berkata: " telah beri'tikaf salah satu istri Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam sedangkan ia mengalami
istikhadhoh, ia melihat darah, dan kadang-kadang ketika ia shalat ia meletakkan
tempat kecil dibawahnya".
Jadi,
perempuan yang istikhadhoh boleh beri'tikaf, dan darah istikhadhohnya keluar
tidak menjadikan I'tikaf atau shalatnya batal.
133. Keadaan Orang Yang I'tikaf Didalam Masjid
‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: "Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam apabila masuk sepuluh
hari terakhir Bulan Ramadhon beliau menghidupkan malamnya dan menguatkan ikat
pinggangnya serta membangunkan keluarganya".
‘Aisyah
Radhiyallahu Anha Berkata Didalam Hadits Yang Diriwayatkan Muslim: " Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersungguh-sungguh di Sepuluhhari terakhir lebih
dari hari-hari yang lainya.".
Yaitu :
bersungguh-sungguh dalam ibadah. Maka sunnah bagi orang yang sedang I'tikaf
untuk tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang bukan ibadah. Sebagian manusia
menjadikan I'tikaf sebagai kesempatan untuk saling mengenal antara satu sama
lain. Menghabiskan waktunya untuk kumpul-kumpul dan cerita-cerita. Ini
menghilangkan maksud dan niat dari I'tikaf. Maksud I'tikaf adalah meninggalkan
segalanya untuk beribadah kepada Allah Subuhanahu Wata’ala. I'tikaf adalah madrasah
pendidikan yang sangat tinggi untuk mendidik diri seorang hamba didalamnya
seperti diam yang menjadi perhiasan bagi laki-laki, dan membina diri seorang
yang I'tikaf untuk bersungguh-sungguh dan berijtihad sekuat mungkin untuk sabar
dalam ketaatan pada Allah Subuhanahu Wata’ala, dan untuk mengasingkan diri
bersama Allah ta'ala dan berdoa pada Allah secara diam dan membaca al-qur'an
serta shalat didalam khiba'nya.
Tempat
I'tikaf adalah madrasah pendidikan yang agung, akan keluar darinya hamba yang
semakin kuat imanya, semakin tinggi derajatnya disisi Allah Subuhanahu
Wata’ala. Maka tidak perlu bagi seorang yang sedang I'tikaf untuk menyibukkan
diri selain ibadah dan ta'at pada Allah.
134. Kapan Seorang Yang I'tikaf Masuk Kedalam
Khiba'nya
Telah dipaparkan sebelumnya tentang makna
khiba'. Dan seorang yang I'tikaf masuk kedalam khiba'nya adalah setelah fajar
hari kedua puluh satu. Sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha
didalam shohihain
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ
مُعْتَكَفَهُ .
Artinya: ia
berkata: " Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam jika telah selesai shalat
fajar maka beliau masuk kedalam khiba'nya”. (H.R Bukhari 2041, Muslim 1173)
Dan didalam riwayat lain : " Apabila telah
selesai shalat shubuh beliaupun masuk kedalam tempat beliau I'tikaf".
Yaitu khiba' yang menjadi tempat beliau beribadah.
Ini
berbeda dengan seorang yang masuk kedalam masjid untuk I'tikaf. Beliau masuk
kedalam masjid sebelum terbenam matahari di hari yang ke dua puluh di Bulan
Ramadhon dan masuk kedalam khiba'nya setelah mendirikan shalat subuh. Dan ini
hukumnya mustahabbun.
135. Hukum Orang Yang Bernazdar Untuk
Beri'tikaf.
Telah dipaparkan sebelumnya, bahwa I'tikaf
adalah sunnah bukan wajib. Akan tetapi jika seorang hamba bernadzar untuk
I'tikaf maka hukumnya akan menjadi wajib karena seorang yang bernadzar untuk
I'tikaf ia mengharuskan dirinya kepada sesuatu yang tidak diwajibkan untuknya.
Jika ia berkata: "aku bernadzar untuk I'tikaf" maka I'tikaf itu akan
menjadi wajib untuknya sebagaimana yang Diriwayatkan Bukhari dari Umar
Radhiyallahu 'Anhu
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهمَا أَنَّ
عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُنْتُ
نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
sesungguhnya
Ia Berkata: " Aku bertanya Nabi shollllahu 'alaihi wasallam, aku berkata:
" Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernadzar untuk I'tikaf satu malam
dimasjid haram ketika zaman jahiliyyah, maka Nabi menjawab: "Tunaikan
Nadzarmu"
Oleh
karena itu, barang siapa yang bernadzar untuk I'tikaf maka wajib baginya untuk
beri'tikaf. Jika ia telah menentukan waktunya maka ia harus I'tikaf di hari
yang telah ia tentukan itu.
136. Hukum Memutuskan I'tikaf
Mayoritas ahli ilmu berkata : " Makruh hukumnya memutuskan I'tikaf .
Imam Malik berkata: “ Barang siapa yang berniat
untuk I'tikaf dan masuk kedalamnya maka haram untuk memutuskanya”, karena Imam
malik Rahimahullah berkata: " ada
sebagian ibadah yang hukumnya mustahabbun yang apabila seseorang masuk
kedalamnya maka akan menjadi wajib baginya, diantaranya adalah i'tikaf
Abu
Su'ud Berkata Dalam Kitabnya Al-Marooqy:
Dan ibadah
sunnah tidak tidak disyari'atkan untuk menjadi keharusan
Didalam
yang tidak ditentukan untuk menjadi taqarrub
Sholat
kita, Puasa kita dan haji kita
Umrah
kita dan begitu juga I'tikaf kita.
Lima
permasalahan ini menurut Imam malik: "Barang siapa yang telah masuk
didalamnya maka wajib baginya untuk menyempurnakannya, lima permasalahan itu
adalah Sholat sunnah, Puasa sunnah, haji sunnah, umrah sunnah dan I'tikaf.
Dan yang
rojih adalah ibadah tatawwu' yang kemudian seseorang mengharuskan dirinya untuk
melakukan tatawwu' itu, seperti I'tikaf. jika ia ingin maka ia I'tikaf dan jika
ia ingin putuskan maka tidak apa-apa tapi makruh hukumnya memutuskan ibadah,
ini berdasarkan Firman Allah Subuhanahu Wata’ala:
Artinya:
" dan janganlah engkau batalkan amal-amal kalian"
137. Hukum
Mengeluarkan Sebagian Badan
Dari Masjid Bagi Orang Yang Sedang
I'tikaf
Seperti kepala atau tangan atau salah satu kaki
maka itu tidak akan memutuskan I'tikaf seseorang kecuali jika ia mengeluarkan
seluruh badanya dari masjid, ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘Anha didalam shohihain Ia
Berkata: "Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengeluarkan kepalanya
sedangkan beliau dalam I'tikaf kemudian aku mengatur dan merapikan rambutnya
sedangkan aku dalam keadaan haid".
138. Hukum Persyaratan Didalam I'tikaf
Persyaratan
adalah niat sebelum masuk I'tikaf untuk melaksanakan suatu keperluan.
Contohnya: dia ingin menemui seseorang di malam yang ke dua puluh lima dan ia berniat itu sebelum ia beri'tikaf
bahwa ia akan keluar dihari itu untuk menemui si fulan kemudian kembali untuk
beri'tikaf
Imam
Syafi'i Dan Imam Ahmad Berkata: “ Tidak apa-apa bersyarat dalam I'tikaf ”.
Mereka berdua membolehkanya.
Imam
Malik Berkata: “ Tidak boleh bersyarat dalam I'tikaf ”, alas an beliau karena
ini belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam juga
para sahabatnya yang I'tikaf setelah beliau. Dan inilah yang rojih
"sesungguhnya tidak benar bersyarat dalam I'tokaf”.
Jika
seorang yang sedang I'tikaf keluar untuk kebutuhan yang harus ia tunaikan, itu
tidak menjadikan I'tikafnya putus. Adapun yang tidak menjadi kebutuhan maka tidak boleh ia keluar dari masji . jika
ia keluar dari masjid kepada sesuatu yang tidak menjadi kebutuhanya sekalipun ia
telah bersyarat sebelum I'tikaf maka I'tikafnya akan terputus.
139.
Hukum
I'tikaf Dimasjid Yang Telah Ditinggalkan,
Yang
Tidak Didirikan Lagi Shalat Lima Waktu Didalamnya
Tidak boleh I'tikaf didalam masjid ini, karena
tidak ada I'tikaf kecuali didalam masjid yang didalamnya didirikan Shalat Lima
Waktu karena jika I'tikaf disitu maka
perlu keluar disetiap waktu shalat untuk melaksanakan shalat dimasjid
lain. Dan karena Shalat Jama'ah adalah
wajib bagi semua laki-laki baik itu bagi yang bermukim (tidak melakukan
perjalanan) ataupun bagi yang sedang dalam perjalanan. Begitupun bagi yang
sedang I'tikaf atau yang tidak sedang I'tikaf.
140.
Hukum
I'tikaf Dimasjid Yang Tidak Didirikan
Shalat Jum'at Didalamnya Tapi Didirikan Sholat Lima Waktu Didalamnya.
Ali Bin
Abi Thalib, Ibnu Mas'ud Dan Ibnu Abbas berpendapat “ Bahwa tidak ada I'tikaf
kecuali didalam masjid yang dilaksanakan Shalat Jum'at didalamnya, Sehingga
tidak membutuhkan keluar dari masjid untuk melaksnakan shalat jum'at”.
Akan
tetapi Sa’ied Bin Jubair dan Imam Malik didalam salah satu Riwayatnya
berpendapat “ Bahwa boleh I'tikaf didalam masjid yang tidak dilaksanakan Shalat
Jum'at didalamnya tapi didirikan Shalat Lima Waktu.
Dan
untuk kehati-hatian bagi seorang yang I'tikaf keluar dari khilaf tersebut, agar
I'tikaf dimasjid yang didirikan Shalat Jum'at didalamnya.
141. Hukum Keluar Dihalaman Masjid Bagi Orang
Yang Sedang I'tikaf
aedah dikalangan ahlul ilmi: "
sesungguhnya pagar masjid adalah bagian dari masjid. Dan semua yang dijadikan bagian
dari sesuatu maka diambil hukum dari sesuatu itu".
Artinya: "halaman masjid adalah bagian
dari masjid dan boleh bagi orang yang I'tikaf untuk keluar kehalaman itu. dan
itu tidak mengapa.
142. Hukum Melakukan Jual Beli Bagi Orang Yang
Sedang I'tikaf
Contohnya
seseorang diwasiatkan oleh temannya untuk menyempurnakan akad tertentu atau
membeli barang tetentu untuknya.
Imam malik berkata: Jika itu sesuatu yang
ringan maka tidak mengapa. Dan jika menjadikan I'tikafnya kemungkinan besar
akan menjadi perkara jual beli maka tidak perlu seorang yang I'tikaf untuk
melakukan itu. Karena itu akan menghilangkan niat dan maksud I'tikafnya.
seorang
yang I'tikaf membeli kebutuhanya, maka ini tidak apa-apa beda halnya dengan ia
membeli sesuatu yang bukan kebutuhan I'tikafnya seperti untuk diperdagangkan
atau yang lainya, maka ini yang dimakruhkan oleh ahlul ilmi.
143. Kapan I'tikaf Di Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhon
Berakhir?
Apabila seseorang melakukan I'tikaf sepuluh
hari terakhir di Bulan Ramadhon maka I'tikafnya akan selesai ketika matahari
terbenam dihari terakhir Bulan Ramadhon. Jika dihari ke dua puluh sembilan anda
mengetahui bahwa besok adalah hari 'ied maka boleh bagi anda untuk keluar dari
I'tikaf ketika terbenam matahari. Dan tidak wajib bagi anda untuk berdiam
dimasjid sampai subuh. Atau jika Ramadhon sempurna tiga puluh hari maka anda
tidak boleh keluar dari I'tikaf kecuali setelah terbenam matahari dihari yang
ke- tiga puluh itu.
145. Hukum Melamar Dan Menikah Bagi Orang Yang
Sedang I'tikaf
Tidak apa-apa bagi seorang yang sedang I'tikaf
untuk keluar melamar atau menikah dengan syarat tidak boleh memegang atau
menyentuh istrinya. Yaitu akad saja. Tapi tidak menyentuhnya dan tidak
menciumnya atau yang lainya.
Imam malik menashkan bahwa khitbah dan nikah
bagi orang yang sedang I'tikaf adalah sah. Begitupun yang dinashkan oleh Imam
syafi'I, sah untuk melakukan itu.
146. Hukum Berwangi-Wangian Bagi Orang Yang
I'tikaf
Tidak mengapa bagi orang yang sedang I'tikaf
atau orang yang sedang puasa untuk berwangi-wangian. Boleh baginya melakukan itu disiang hari
Ramadhon atau dimalam harinya. Bahkan itu mustahabbun karena Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
membolehkan berwangi-wangian bagi
laki-laki.
147. Hukum I'tikaf Dihari ‘Iedain
Sebagian ahlul ilmi mengatakan bahwa I'tikaf
disyaratkan harus puasa. Ia berkata bahwa tidak boleh I'tikaf dihari ‘iedain.
Karena di dua hari itu tidak diperbolehkan puasa. Akan tetapi perkataan yang rojih adalah bahwa
boleh I'tikaf tanpa puasa maka boleh I'tikaf dihari ‘iedain dan tidak puasa di
kedua hari itu.
148. Hukum I'tikaf Diselain Masjid
Tidak sah I'tikaf diselain masjid[5] berdasarkan perkataan
'Aisyah Radhiyallahu ‘Anha: "tidak ada I'tikaf selain didalam
masjid".
149. Hukum Orang Yang Melakukan Dosa Besar
Ketika Ia Ber'itikaf
Dosa besar yang
dimaksud disini adalah seperti
mencuri, zina dan minum khamar. Imam Malik, Imam Syafi'i Dan Imam Abu Hanifah
Berkata: “ Dosa besar akan memutuskan I'tikaf seseorang karena maksiat
menghilangkan maksud dan niat I'tikaf yang dimaksudkan beribadah pada Allah
Subuhanahu Wata’ala. Jika ia melakukan dosa besar maka ia telah melakukan hal
yang memutuskan I'tikafnya, dan I'tikafnyapun menjadi batal.
150. Hukum Perempuan Yang Sedang I'tikaf Kemudian Ditalak Oleh Suaminya, Apakah
Ia Harus Memutuskan I'tikafnya Atau Menyempurnakanya.
Imam Malik Berkata: “Seorang wanita yang sedang
I'tikaf jika ditalak suaminya maka hendaknya ia menyempurnakan I'tikafnya
sampai selesai Sepuluh hari Dibulan Ramadhon. Kemudian setelah itu menghabiskan
sisa iddahnya dirumah suaminya”.
Adapun amam syafi'I berpendapat: “ Bahwa
seorang wanita yang sedang I'tikaf jika ditalak suaminya maka wajib untuk
memutuskan I'tikafnya untuk menunggu masa iddahnya dirumah suaminya”, dan ini
yang rojih dan dzohir….dan ilimu disisi Allah.
151. Hukum Menghadiri Majelis Ilmu Bagi Orang
Yang Sedang I'tikaf.
Imam
Malik Dan Imam Ahmad Berkata: " Seorang yang sedang I'tikaf tidak boleh
menghadiri majelis ilmu dan tidak boleh menulis ilmu. Karena maksud dari
I'tikaf adalah bukan menuntut ilmu tapi untuk beribadah seperti shalat, puasa ,
baca al-qur'an dan dzikir kepada Allah Subuhanahu Wata’ala.
Imam
Syafi'i Dan Sufiyan Ats-Tsaury Berkata: " Tidak apa-apa bagi seorang yang
sedang I'tikaf untuk menghadiri majelis ilmu”. dan inilah pendapat yang benar
karena majelis ilmu adalah ibadah orang yang sedang I'tikaf adalah sedang dalam
ibadah dan mencari ilmu adalah ibadah.
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa I'tikaf
selesai seiring dengan terbenamnya matahari dihari terakhir Bulan Ramadhon.
Akan tetapi mustahabbun bagi orang yang sedang I'tikaf untuk tidak
keluar dari masjid kecuali untuk shalat ‘ied, kemudian boleh pulang
ke-keluarganya setelah itu. Dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam sebagaimana
yang diriwayatkan 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha:
Artinya: “ Sesungguhnya Nabi Shollallahu
'Alaihi Wasallam tidak keluar dari tempat I'tikafnya sampai datang waktu shalat
‘ied”.
Ini mustahabbun bukan wajib. Dan dari terbenam
matahari dihari terakhir Bulan Ramadhon sampai Shalat ‘ied tidak dinamakan
I'tikaf akan tetapi termasuk perkara mustabbun I'tikaf.
Saya berharap pada Allah Subuhanahu Wata’ala
agar kita semua diizinkan untuk bisa I'tikaf di Sepuluh hari terakhir Bulan
Ramadhon. Dan semoga Allah menerima puasa, shalat, rukuk dan sujud kita,
salawat untuk Nabi kita Muhammad Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga untuk keluarga, dan para sahabatnya
semuanya. Segala puji bagi Rabb Semesta Alam.
([2] ) Adapun yang mengatakan makruh Mereka berdalil dengan Hadits ‘Aisyah radhiallahu
‘anhu yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka
hendak beri’tikaf bersama beliau. (HR Ibnu Khuzaimah,
no. 2224)
Hadits ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhu yang lainnya,
beliau mengatakan,
لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –
مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ
Artinya:“Seandainya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini
tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana
Allah telah melarang wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari: 831 dan
Muslim: 445)
كُلَّمَا دَخَلَ
عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ
Artinya: “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam
di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).
فَاتَّخَذَتْ مِنْ
دُونِهِمْ حِجَابًا
Artinya:
“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari
mereka…” (Maryam: 17).
Dalam Shahih Al Bukhari (2033) dan Muslim
(1173) dari jalur Yahya bin Sa’id bin Amrah, dari Aisyah,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ
أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ
زَيْنَبَ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
Artinya:
“Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
hendak beri’tikaf. Maka ketika beliau beranjak ke tempat yang hendak dijadikan
beri’tikaf, di sana sudah ada beberapa kemah, yaitu kemah Aisyah, kemah
Hafshah, dan kemah Zainab.” (H.R Bukhari Nomor 1929, 1893)
فعن
صَفِيَّةَ زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا جَاءَتْ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي
اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ،
فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا . أي : ليردها
إلى منزلها
[5] .
Selain masjid yang dimaksud disini adalah seperti di rumah, di asrama, di
apartemen, di hotel dan sebagainya. I’tikaf di selain masjid atau musholla
hukumnya tidak sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar