Jumat, 14 Februari 2020

173 PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA DAN I'TIKAF (14)


14.   Kapan Waktu Berakhirnya Sahur?
Sebelumnya, kita akan mengenal dulu apa makna sahur?, Sahur berasal dari bahasa arab.
“Sahur dengan huruf sin difathah (سَحُوْرٌ) artinya sesuatu yang digunakan untuk makan sahur. Sedangkan jika dengan huruf sin didommah (سُحُوْرٌ) artinya perbuatan makan sahur.[1]
Disunnahkan mengakhirkan waktu makan sahur, itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Was Sallam  seperti yang diriwayatkan bukhari melalui jalan Sahabat Anas Bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu,
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ ،عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
Artinya: dari Zaid bin Tsabit ia mengatakan: “Kami  makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam kemudian Beliau berdiri untuk mengerjakan sholat” Aku (Anas bin Malik) bertanya, “Berapa jarak waktu antara iqomah dan sahur?” Lalu Zaid menjawab, “Sekadar waktu untuk membaca lima puluh ayat”[[2]]
Batas akhir sahur adalah sebelum fajar terbit, sebagaimana Allah Subuhanahu Wata'ala berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya: “makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al-Baqarah: 187)
Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda:
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Artinya: “Makan dan minumlah sampai Ibn Umi maktum adzan. Karena dia tidak adzan, kecuali sampai terbit fajar.” (HR. Bukhari no. 1919)
Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ أَوْ قَالَ حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ وَكَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَقُولَ لَهُ النَّاسُ أَصْبَحْتَ
Artinya: Dari Abdullah Bin Umar Radhiyallahu Anhuma Ia Berkata, Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda: Sesungguhnya bilal azan dimalam hari, maka makan minumlah kalian  sampai kalian mendengar azan Ibnu Ummi Maktum, karena dia adalah laki-laki buta dan tidaklah ia azan sampai orang-orang mengatakan, sekarang saatnya anda azan. (HR. Bukhari no. 2513)
Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ قَالَ الْقَاسِمُ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ أَذَانِهِمَا إِلَّا أَنْ يَرْقَى ذَا وَيَنْزِلَ ذَا
Artinya: Dari 'Aisya Radhiyallahu Anha Ia Berkata, Sesungguhnya bilal azan dimalam hari maka Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda: maka makan minumlah kalian  sampai kalian mendengar azan Ibnu Ummi Maktum, karena dia tidak azan sampai terbitnya fajar. (HR. Bukhari no. 1819)
Jadi, apabila fajar telah terbit maka tidak boleh lagi sahur, kecuali jika makanan masih ada dimulut, seperti yang dikatakah Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "
Artinya: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2350]. [[3]]
Sanad riwayat ini hasan, dan shahih dengan penguat yang akan disebut setelahnya.
Berikut keterangan para perawinya :
a.     ‘Abdul-A’laa bin Hammaad bin Nashr Al-Baahiliy, Abu Yahyaa Al-Bashriy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bih)’. Termasuk thaqabah ke-10, dan wafat tahun 236 H/237 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 561 no. 3754].
b.     Ghassaan bin Ar-Rabii’. Ad-Daaruquthniy telah mendla’ifkannya. Di tempat lain ia berkata : “Shaalih”.  Al-Khathiib berkata : “Ia seorang yang mulia, mempunyai keutamaan, dan wara’”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Wafat tahun 226 H [lihat : Taariikh Baghdaad, 14/285-286 no. 6723 dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad, hal. 285 no. 175].
c.      Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan bin ‘Amr bin Martsad Al-Qaisiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 205 H/207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [lihat : Al-Mu’jamush-Shaghiir li-Ruwaati Al-Imam Ibni Jariir Ath-Thabariy no. 1167 dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
d.     ‘Affaan bin Muslim bin ‘Abdillah Al-Baahiliy, Abu ‘Utsmaan Ash-Shaffaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun kadang ragu. Termasuk thabaqah ke-10, wafat setelah tahun 219 H di Baghdaad. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 681 no. 4659].
e.     ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats Al-Mariidiy Al-Bashriy, Abu Bahr Ash-Shairafiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 631 no. 4275].
f.      Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah; seorang yang tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 167 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara muallaq, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507].
g.     Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 144 H/145 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth : shaduuq [Tahriirut-Taqriib, 3/299 no. 6188].
h.     Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqah lagi banyak haditsnya. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 94 H dalam usia 72 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8203].
i.       Abu Hurairah Ad-Dausiy Al-Yamaaniy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhuur dan mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 57 H/58 H/59 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1218 no. 8493].
Catatan:
Apabila seseorang terlambat makan sahur dikarenakan udzur syar'I, kemudian adzar subuh dikomandangkan sedangkan dia masih makan maka boleh baginya untuk menyelesaikan makananya, dan puasanya tidak batal. Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ»
Artinya: “Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan dan terdapat wadah (makanan atau minuman) di tangannya maka janganlah ia menahannya sampai ia menunaikan hajatnya (memakan apa yang ada di genggaman tangannya) [[4]]
Udzur Syar'I yang dimaksud disini adalah seperti: ketiduran, terlambat mendapatkan sahur dan sebagainya. Adapun jika keterlambatanya dikarenakan yang lain maka hukum itu tidak berlaku ntuknya, seperti: mengundur-ngundur waktu sahur, bermain-main terlebih dahulu dan yang lainya. maka jika ia mendengarkan azan sedangkan ia dalam keadaan sahur maka ia harus segera menghetikan sahurnya, karena keterlambatanya bukan karena udzur syar'i. wallahu a'lam.


([1]) lihat  HR. Bukhori no. 1921, Muslim no. 1095
([2])  HR. Bukhori no. 1921, Muslim no. 1097 dan yang lainnya
([3])  Diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Al-Musnad 2/423 no. 9473 & 2/510 no. 10629, Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/526 no. 3015, Ad-Daaruquthniy no. 2182, Ibnu Abi Shaabir dalam Al-Fawaaid no. 2, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/203 & 1/205 & 1/426, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/218 no. 8018; dari 5 jalan (Ghassaan bin Ar-Rabii’, Rauh bin ‘Ubaadah, ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, ‘Affaan, dan ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats); semuanya dari Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
([4])  HR. Abu Dawud no. 2333, Al Hakim no. I/426, hadits ini dinilai hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar