158. Hukum
Mendengarkan Khutbah ‘Idain
Telah
kita jelaskan hukum sholat idul fitri (idul adha) yaitu fardhu ‘ain, itulah
yang rojih. Dan dalam pembahasan ini kita akan jelaskan hukum
menghadiri/mendengarkan khutbah ‘idain. Maka hukumnya adalah tidak wajib
seperti menghadiri shalat ‘id. Dalilnya yaitu Hadits riwayat Abdullah bin Saib,
ia berkata :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا الْفَضْلُ
بْنُ مُوسَى ، قَالَ : أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ ، عَنْ عَطَاءٍ ، عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ السَّائِبِ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَّى الْعِيدَ وَقَالَ : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ وَمَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُقِيمَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَقُمُ.
Artinya
: Aku menghadiri Ied bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai
shalat, beliau bersabda : 'Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang
ingin tetap duduk untuk mendengarkan maka duduklah dan siapa yang hendak pergi
maka pergilah" [Diriwayatkan Abu Daud 1155, An-Nasa'i 1571, Ibnu Majah
1290, dan Al-Hakim 1/295, dan isnadnya Shahih. Lihat Irwaul Ghalil 3.96-98]
Ibnul
Qoyyim Rahimahullah Berkata didalam kitab Zadul
Ma'ad 1/448 : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam memberi keringanan bagi yang meghadiri shala Id untuk duduk mendengarkan
khutbah atau pergi" [Lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam 24/214]
159. Sunnah-Sunnah Yang Berkaitan Dengan Idul
Fitri
Adapun sunnah-sunnah yang berkaitan dengan idul
fitri adalah sebagai berikut:
1.
Mengerjakan shalat di
tanah lapang
2.
Mengakhirkan shalat
Idul Fitri, agar seseorang lebih mempunyai waktu untuk menyerahkan zakat kepada
orang miskin. Dan Menyegerakan shalat Idul Adha, agar kaum muslim bisa
dengan segera menyembelih hewan sesembelihan
3.
Makan sebelum
mengerjakan shalat idul fitri dengan kurma. Dianjurkan dengan kurma yang dimakan
dengan jumlah ganjil.
4.
Mandi dan memakai
wewangian
5.
Memakai pakaian yang
paling bagus
6.
Berangkat dengan
melewati sebuah jalan dan kembali dengan lewat jalan yang lain.
7.
Dilaksanakan
secara berjama'ah, sebagaimana yang terkandung dalam hadits Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ
الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ
الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ
عَلَى صُفُوفِهِمْ
Artinya : Dari Abu sa’id Al-khudri Radhiyallahu ‘Anhu, ia
berkata: Adalah Rasulullah Shollallahu
‘Alaihi Wasallam keluar dihari ‘idain menuju tempat sholat ‘id, maka
yang pertama kali Beliau Shollallahu
‘Alaihi Wasallam lakukan adalah
sholat ‘id kemudian bangun dari tempat sholatnya dan berdiri menghadap para
jama’ah , sedangkan manusia (jama’ah) duduk di shof-shof mereka sholat tadi”. (H.R Bukhari Nomor 956)
Disini menunjukkan
bahwa sholat ‘idain dilaksanakan oleh Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya secara berjamaah. Bukan
sendiri-sendiri.
8.
Takbir
tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada rakat kedua. Sebagaimana yg
telah kita jelaskan sebelumnya (lihat pembahasan tata cara melaksanakan sholat
idul fitri poin ke 3)
9.
Mengangkat
tangan setinggi bahu pada setiap takbir.
10. Setelah takbir yang kedua sampai takbir yang
terakhir membaca tasbih.
11. Membaca surat Qaf dirakaat pertama dan surat Al
Qomar di rakaat kedua. Atau surat A’la dirakat pertama dan surat Al Ghasiyah
pada rakaat kedua. Sebagaimana yg telah kita jelaskan sebelumnya (lihat
pembahasan tata cara melaksanakan sholat idul fitri poin ke 4)
12. Imam menyaringkan bacaannya.
13. Pada khutbah Idul Fitri memaparkan tentang
zakat fitrah dan pada Idul Adha tentang hukum – hukum Qurban.
Catatan:
disunnahkan banyak bertakbir:
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ
أَكْبَرُ، لاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ، وَاللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ
الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كبيراً وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً، وَسُبْحَانَ اللهِ
بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهْ، صَدَقَ وَعْدَهُ،
وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ
إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.
160. Hukum Shalat Jum'at Dihari Idul Fitri
Para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini:
Pertama: Al-Hanabilah:
Apabila hari 'id bertepatan dengan hari jum'at maka boleh untuk tidak shalat
jum'at, yaitu diganti dengan shalat dzuhur. tapi kalau mau melaksanakan shalat
jum'at maka itu mustahabbun.
inilah yang dirojihkan
oleh syekh islam ibnu taimiyah. Dan inilah yang dipilih oleh syekh bin baz dan syekh
utsaimin.
Kelompok ini berdalil dengan
hadits-hadits Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلُ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ
الْمُغِيرَةِ عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ
مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى
يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ
فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ «مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ». )[1](
Artinya: Dari ‘Iyas Bin Abi Ramlah Asy-Syamy ia berkata:
suatu hari saya pernah menyaksikan Muawiyah Bin Abi Sofiyan sedang bertanya
Zaid Bin Arqom, Abu Sofiyan bertanya: apakah kamu pernah menyaksikan bersama
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dua hari ‘id (idul adha/idul fitri dan
hari jum’at) berkumpul dalam hari yang sama?, Zaid Bin Arqom menjawab: iya,
pernah. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, lalu apa yang dilakukan oleh Beliau
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam? Zaid Bin Arqom menjawab: Beliau Shollallahu
‘Alaihi Wasallam melaksanakan sholat ‘id dan memberikan keringanan pada sholat
jum’at : “ Barang siapa yang ingin sholat jum’at maka sholatlah)”. (H.R Abu
Daud Nomor 1072, Ibnu Majah 1/393, Nasa’i 1/235, Hakim 1/288, Baihaqi 3/317,
Ahmad 4/372. Dan syekh Al-bani berkata: Hadits ini shohih, juga dishohihkan
oleh Imam Hakim dan Yahya Ibnu Al-madiiny serta Adz-dzahabi).
Akan tetapi yang dimaksud dengan rukhsoh dalam hadits ini
adalah yaitu untuk orang-orang yang datang jauh dari pedesaan, yang mereka
kesulitan untuk datang jum’at lagi dikarekan jauh dan untuk member kesempatan
pada mereka untuk menikmati hari ‘id. Hal ini adalah seperti yang ditafsirkan
oleh hadits abu ubaidah yang diriwayatkan oleh imam bukhari Nomor 5251 tentang
kisah utsman bin affan yang member keringanan pada orang-orang yang datang jauh
dari pedesaan untuk tidak apa-apa tidak datang sholat jum’at.
Dan kita tau bahwa para sahabat tidak mungkin menyelisihi
apa yang dilakukan atau ditetapkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alahi Wa
Sallam, bahkan apa yang menjadi ketetapan para sahabat adalah yang mereka
dapatkan dan pahami dari Rasulullah
Shollallahu ‘Alahi Wa Sallam.Wallahu a’lam
Kelompok pertama ini juga berdalil dengan hadits Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ طَرِيفٍ الْبَجَلِىُّ حَدَّثَنَا أَسْبَاطٌ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ
عَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ قَالَ صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِى يَوْمِ
عِيدٍ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ
بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ.
Artinya: Dari Atho’ Bin
Abi Rabah ia berkata: Abdullah Bin Zubair pernah melaksanakan sholat ‘id
bersama kami pada hari jum’at di waktu permulaan siang, kemudian ketika kami
keluar untuk melaksanakan sholat jum’at beliau tidak keluar lalu kami sholat
sendiri, sedangkan pada saat itu ibnu abbas sedang berada di tho’if, ketika
ibnu abbas ke madinah, kami ceritakan hal tersebut padanya, kemudian beliau
menjawab: dia telah melakukan sunnah”. (H.R Abu Daud Nomor 1073)
Mereka juga berdalil
dengan hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفَّى وَعُمَرُ بْنُ حَفْصٍ الْوَصَّابِىُّ - الْمَعْنَى -
قَالاَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنِ الْمُغِيرَةِ الضَّبِّىِّ
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « قَدِ اجْتَمَعَ فِى
يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا
مُجَمِّعُونَ ».)[2](
Artinya:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “Telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya (‘Id dan
Jum’at). Barangsiapa yang ingin (untuk tidak shalat Jum’at), maka (shalat Id)
ini telah mengesahkannya. Adapun kami (Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam)
tetap melaksanakan shalat Jum’at.” (H.R Abu Daud Nomor 1073/1075)
Mereka juga berdalil
dengan hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا
جُبَارَةُ بْنُ الْمُغَلِّسِ ، حَدَّثَنَا مِنْدَلُ بْنُ عَلِيٍّ ، عَنْ عَبْدِ
الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : اجْتَمَعَ
عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ , فَصَلَّى
بِالنَّاسِ ، ثُمَّ قَالَ : مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا ،
وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ.)[3](
Artinya: Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, Ia berkata: “Telah
berkumpul dua hari raya (‘Id dan Jum’at) di zaman Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, kemudian beliau Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
memimpin sholat ‘id kemudian setelah sholat beliau bersabda: Barangsiapa
yang ingin ingin datang untuk shalat Jum’at maka silakan datang, dan barang
siapa yang ingin tidak datang maka tidak apa-apa”.(H.R Ibnu Majah Nomor 1312)
Kedua: Jumhur (Hanafiyyah, Malikiyah, Syafi'iyyah dan
Zdohiriyyah): Apabila hari 'id bertepatan dengan hari jum'at maka tidak
boleh untuk tidak shalat jum'at, artinya tidak boleh diganti dengan shalat
dzuhur. berdasarkan firman allah 'azza wajalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ
يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (Q.S Al-jum’ah : 9)
Mereka juga berdalil
dengan hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا
أَبُو عَامِرٍ ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ ، عَنْ أَسِيدٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
أَبِي قَتَادَةَ ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مِرَارٍ مِنْ
غَيْرِ عُذْرٍ ، طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ.)[4](
Artinya: “Barangsiapa
meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”
Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib. (H.R Imam Ahmad Nomor 14558 Dan Abu
Daud Nomor 1052 dari
Abul Ja’di Adh Dhomri)
Mereka juga berdalil
dengan hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
عَنْ
طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ ، عَنْ أَبِي مُوسَى ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي
جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٌ : عَبْدٌ مَمْلُوكٌ ، أَوِ امْرَأَةٌ ، أَوْ صَبِيٌّ
، أَوْ مَرِيضٌ .
Artinya: “Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi
setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita,
[3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin
Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
TARJIH
Perkataan yang rojih adalah perkataanya jumhur
yaitu apabila hari 'id bertepatan dengan hari jum'at maka tidak boleh untuk tidak shalat jum'at, atau tidak boleh diganti dengan shalat dzuhur. Hal ini berdasarkan dalil:
1.
Firman
Allah dalam Q. S al- jum'ah
ayat 9 adalah perintah yang qoth'i. dan ayat itu adalah hukumnya umum, baik
diluar hari 'id atau ketika hari 'id.
2.
Adanya
ancaman terhadap orang yang meninggalkan jum'at yaitu akan dibutakan hatinya
oleh Allah Subuhanahu Wata'ala. seperti yang diriwayatkan oleh imam ahmad
didalam hadits yang telah disebutkan diatas.
3.
Hadits
Zaid Bin Arqam yang diungkapkan diatas adalah shohih akan tetapi dibawa kemakna:
Bahwa yang diberi rukhshoh untuk tidak shalat jum'at adalah kepada yang mereka
datang dari tempat yang jauh. ini seperti yang ungkapkan oleh para ulama kita,
diantaranya adalah:
-
Perkataan imam Athohawi dalam
musykilul atsar: Hadits
Zaid Bin Arqam adalah rukhshoh bagi mereka yang datang dari tempat yang
jauh.untuk boleh tidak shalat jum'at.
-
Syekh
ibnu jibrin berkata: perkataan jumhur dalam hal ini adalah sholat jum’ah jatuh
bagi orang-orang yang datang dari jauh, dan tetap wajib bagi yang tidak jauh.
Ini untuk keringanan bagi mereka, dikarenakan pulang pergi bagi mereka adalah
masyaqqah”.
4. Hadits
Rasulullah Shollallahu 'Aaihi Wasallam:
قَالَ
أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ،
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى
فَلْيَنْتَظِرْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
Artinya: Abu ubaidah berkata: kemudian aku menyaksikan
sholat ‘id bersama Utsman Bin Affan di hari jum’at. Maka beliau melaksanakan
sholat ‘id sebelum khutbah, kemudian berkata: wahai manusia (para jama’ah)
sesungguhnya hari ini telah berkumpul dua hari ‘id. Maka barang siapa dari
kalian yang datang jauh dari pedesaan ingin menunggu jum’at maka silakan
tunggu. Dan barang siapa dari kalian (yang datang dari jauh/pedesaan) ingin
pulang maka saya mengizinkan untuk pulang”. (H.R BukhariNomor 5251, 5572, 5145)
Hadits ini menunjukkan bahwa yang diberi
rukhshoh yaitu orang-orang yang datang jauh dari pedesaan. sehingga kalau
mereka bolak-balik maka itu akan menyulitkan mereka dan agar mereka bisa lebih
menikmati hari 'idnya.wallahu a'lam
161. Hukum Ramah Tamah Dihari Idul Fitri
Apabila disana tidak mengandung maksiat maka tidak
apa-apa. akan tetapi jika mengundang maksiat atau kesyirikan maka itu dilarang
([3]) Hadits ini adalah dhoif dikarenakan didalam
sanadnya ada dua rowi yang dinilai dho’if yaitu Jubarah Bin Al-mughollis dan
Mindalu Bin Ali.
- Jubarah Bin Al-mughollis Al-hammany, laqobnya
adalah abu muhammad al-kufiy, beliau termasuk thobaqah ke 10, beliau wafat
tahun 241 H di kufah, ibnu hajar dan adzahabi berkata: dia adalah dhoif.
- Mindalu Bin Ali Al-‘anazi
adalah saudara hibban bin ali. Laqobnya adalah abu Abdullah al-kuufy, ada yang
mengatakan bahwa namanya adalah amru dan mindal adalah laqobnya. Ia lahir tahun 103 H dan wafat tahun 167/168 H di
kufah. Dia adalah termasuk kibaru atba’uttabi’in yaitu thobaqoh ke 7. Yang
termasuk meriwayatkan haditsnya adalah abu daud dan ibnu majah. Ibnu hajar
berkata: dia adalah dho’if. Sedangkan imam adz-dzahabiy berkata: mindalu bin
Ali di dhoifkan oleh iamam ahmad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar