Jumat, 14 Februari 2020

173 PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA DAN I'TIKAF (162-173)

162.   Hukum Puasa Syawal Setelah Ramadhon
Hukum puasa syawal adalah sunnah, berdasarkan hadits Rasulullah Shollallallahu 'Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي سَعْدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتِ بْنِ الْحَارِثِ الْخَزْرَجِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Artinya: Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda: barang Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1164, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]

163.   Beberapa Kemungkaran/Kesalahan Seputar ‘Id
Kami akan menyebutkan beberapa kesalahan/kemungkaran yang biasa terjadi dihari ‘id, adapun kesalahan-kesalahan itu adalah sebagai berikut:
1. Mengerjakan shalat qabliyah dan ba’diyah menyertai shalat Id
2. Adzan dan Iqamah sebelum Shalat Id
3. Ucapan: Ash-Shalat al-Jaami’ah dan semisalnya
4. Shalat dua rakaat secara khusus di malam Id. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang shalat malam Id adalah hadits-hadits yang maudhu` (palsu) dan sangat dha’if.
5.Mendahulukan khutbah sebelum pengerjaan shalat Id.
6.Mengadakan mimbar untuk khutbah Id.
7.Mengerjakan shalat ‘Ied di masjid tanpa adanya uzur.
8.Meninggalkan shalat Id di belakang seorang yang dianggap ahli bid’ah (namun tidak sampai pada kekufuran).
9. Mengerjakan shalat Id di lapangan yang kecil/sedikit menampung jama’ah, sementara ada lapangan terdekat yang dapat menampung banyak jama’ah.
10.   Membuat lapangan Id baru atas dasar hawa nafsu dan tahazzub (fanatisme kelompok), sementara dijumpai mushalla Id kaum muslimin.
11.  Menempatkan shaf laki-laki bergantian dengan shaf wanita, atau shaf laki-laki sejajar dengan shaf wanita.
12.  Keluarnya wanita dengan bertabarruj (berhias) yang tidak syar’i.
13.  Bersenda gurau ketika khutbah Id.
14.  Bertakbir secara berjamaah yang dipimpin oleh satu orang dan di atas satu suara.
15.  Percampurbauran antara lelaki dan wanita (ikhtilath) serta lelaki menyentuh wanita yang bukan mahramnya dan demikian pula sebaliknya.













164.   Apa itu qodho’, fidiyah dan kaffarat?
Ketiga istilah ini harus kita pahami agar tidak bingung ketika menemukannya dalam buku ini atau buku-buku yang lain serta ketika mendengarkan diungkapkan oleh dari orang lain:
1.   Qadha` adalah berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadhan sebagai pengganti dari tidak berpuasa pada bulan itu, seperti wanita yang mendapatkan haidh dan nifas, orang sakit, wanita yang menyusui dan hamil karena alasan kekhawatiran pada diri sendiri, bepergian (musafir), Orang yang batal puasanya karena suatu sebab seperti muntah, keluar mani secara sengaja, dan semua yangmembatalkan puasa.
2.   Fidyah adalah memberi makan kepada satu orang fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Fidyah itu berbentuk memberi makan sebesar satu mud , seperti : Orang yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi, Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa,  Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika tidak puasa mengakhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya itu, Orang yang meninggalkan kewajiban meng-qadha` puasa Ramadhan tanpa uzur syar`i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha`nya sekaligus membayar fidyah.
3.   Kaffarah adalah tebusan yang wajib dilakukan karena melanggar kehormatan bulan Ramadhan. Seperti : Orang yang jima’disiang hari bulan Ramadhan.





165.   Hukum Mengqodho’ Puasa Ramadhon
Adapun hukum mengqadha puasa ramadhan adalah wajib. Dan harus diganti sebanyak hari yang ditinggalkan, Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka barangsiapa di antara kalian menderita sakit atau dalam safar ada rukhsah (keringanan) baginya untuk berbuka dan wajib atasnya untuk mengqadhanya di hari-hari lain (di luar bulan Ramadhan).” (Al-Baqarah: 184).
Karena puasa adalah kewajiban kita pada Allah. Jika kita tinggalkan maka berarti kita telah utang kepada Allah, maka membayar utang terhadap Allah itu lebih utama dibanding membayar utang kepada sesama. Berdasarkan sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:
وَحَدَّثَنِى أَحْمَدُ بْنُ عُمَرَ الْوَكِيعِىُّ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِىٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى ».
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhumaa : Datang seseorang pada Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah (Shollallahu 'Alaihi Wasallam), Sungguh ibuku wafat dan ia mempunyai hutang puasa satu bulan, apakah aku membayarnya untuknya?, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam menjawab : kalau seandainya ibumu memiliki utang (kepada manusia) apakah kamu akan membayarnya? Laki-laki itu menjawab: “Betul, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: " Dan Hutang pada Allah Subuhanahu Wata'ala lebih berhak untuk ditunaikan” (H.R Muslim no 2750)

166.   Hukum Puasa Syawal Sebelum Mengqodho' Ramadhon
Dalam hal ini ada beberapa keadaan:
1.      Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”([1])
2.      Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka ia tidak akan termasuk kedalam kelompok yang dikatakan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam yang akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. karena didalam hadits Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam adalah harus dilengkapi puasa ramadhan dulu baru kemudian puasa syawal, sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas.




167.   Apakah Qadha Puasa Harus Dilakukan Secara Berurutan?
Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa qadha itu harus dilakukan secara berurutan. Bahkan sebaliknya yaitu puasa  boleh  dilaksanakan secara terpisah. Diriwayatkan Daruquthni dari Ibnu Umar menyataan: “Qadha puasa Ramadhan itu, jika ia berkehendak maka ia boleh melakukannya secara berurutan. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya secara berurutan.”

168.   Bagaimana Jika Lupa Jumlah Hari Puasa Yang Harus Diqadha?\
Lupa adalah salah satu sifat manusia, dan itu adalah diluar kekuasaan manusia. Karena itu adalah kehendak Allah semata. Akan tetapi jika seorang lupa terhadap bilangan ibadah maka yang menjadi patokan adalah angka yang paling kecil.
Contoh: Lupa jumlah puasa yang telah ia laksanakan apakah 25 hari atau 26 hari, maka  berarti yang menjadi keyakinan adalah bilangan yang paling kecil yaitu 25 hari. Dengan itu wajib mengqodho’ 5 hari (apabila jumlah puasa pada bulan itu 30 hari).


169.   Hukum Orang Yang Meninggal Sebelum Meng-Qadho’ Puasa
Memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang mutlak baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi yang berhubungan dengan Allah. Sehingga orang yang wafat sebelum memenuhi kewajiban qadha puasa Ramadhan sama artinya ia memiliki hutang kepada Allah. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam:
وحَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ عِيسَى قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
Artinya: Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “ Barang Siapa yang wafat dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya berpuasa untuk menggantikannya. (HR.Bukhari 1952,1851 & Muslim 1147)
Didalam Shohih Bukhari disebutkan:
باب مَنْ مَاتَ ، وَعَلَيْهِ صَوْمٌ. وَقَالَ الْحَسَنُ إِنْ صَامَ عَنْهُ ثَلاَثُونَ رَجُلاً يَوْمًا وَاحِدًا جَاز
Arinya:  “Bab siapa yang meninggal dan ia memiliki qodho’” Hasan basri berkata: jika 30 orang keluarganya berpuasa untuknya (si mayit) secara bersamaan dalam waktu sehari maka itu boleh”.(lihat HR. Bukhari 1952)
Istifadah:
Si fulan mempunyai tanggungan qadlâ’ puasa, karena pada saat bulan Ramadlan Ia menderita sakit. Setelah sembuh dari sakitnya, Ia tidak segera meng-qadlâ’-i puasanya dan beralasan bahwa bulan Ramadlan yang akan datang masih lama. Namun tak disangka-sangka ternyata ajal menjemputnya sebelum Ia sempat meng-qadlâ’ puasanya, Apakah ia termasuk meninggal dalam keadaan maksiat? 
Jawab: Menurut pendapat yang kuat, ia tidak termasuk meninggal dalam keadaan maksiat. Karena mengakhirkan qodho’ adalah boleh. Boleh dilakukan dibulan syawal (itu yang paling utama), boleh dibulan-bulan yang lain sampai sebelum datang ramadhan selanjutnya.
 

170.    Hukum Ith'am Bagi Yang Mampu Untuk Qodho'
Tidak boleh bagi seorang yang memiliki utang untuk mengqodho' puasanya menggantinya dengan ith'am. karena Allah 'Azza Wajallah telah mensyari'atkan hukumnya sesuai dengan maqomnya dan dengan penuh adil. Allah subuhanhu wataala berfirman didalam Q. S al-baqarah ayat 187:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُون
Artinya: Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa".
Oleh karena itu, seorang hamba yang melakukan safar atau sakit kemudian dia tidak berpuasa maka ia wajib menggantinya dihari-hari yang lain (setelah bulan ramadhon), tidak boleh menggantinya dengan memberi makan orang-orang miskin.
Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka barangsiapa di antara kalian menderita sakit atau dalam safar ada rukhsah (keringanan) baginya untuk berbuka dan wajib atasnya untuk mengqadhanya di hari-hari lain (di luar bulan Ramadhan).” (Al-Baqarah: 184).
Puasa yang di tinggalkan itu juga merupakan utang terhadap allah, maka membayar utang terhadap Allah itu lebih utama disbanding membayar utang kepada sesama. Berdasarkan sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam:
وَحَدَّثَنِى أَحْمَدُ بْنُ عُمَرَ الْوَكِيعِىُّ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِىٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى ».
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhumaa : Datang seseorang pada Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah (Shollallahu 'Alaihi Wasallam), Sungguh ibuku wafat dan ia mempunyai hutang puasa satu bulan, apakah aku membayarnya untuknya?, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam menjawab : kalau seandainya ibumu memiliki utang (kepada manusia) apakah kamu akan membayarnya? Laki-laki itu menjawab: “Betul, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: " Dan Hutang pada Allah Subuhanahu Wata'ala lebih berhak untuk ditunaikan” (H.R Muslim no 2750)

171.  Hukum Mengakhirkan Qodho' Ramadhon Sampai Syawal
Tidak boleh Mengakhirkan Qodho' Puasa Ramadhan Sampai Sya'ban  tahun depan Kecuali ada uzdur syar’I, sebagaimana keadaan ibunda kita A’isyah Radhiyallahu anha, didalam hadits dijelaskan:

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ،ِ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Artinya:  Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha ia berkata: saya memiliki qodho’ Ramadhon, dan saya tidak bisa mengqodho’nya kecuali di bulan sya’ban, hal itu dikarenakan sibuk mengurus Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam (H.R Bukhari Nomor 1950 dan Muslim Hadits Nomor 1146)
Jadi apabila memiliki udzur maka tidak apa-apa mengundur qodha' sampai bulan sya'ban, Allah subuhanahu wata'ala berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S Al-baqarah : 185)
Catatan:
Pertama: yang lebih utama adalah disegerakan, ini termasuk dalam firman Allah:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Artinya:  Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. (Q.S Al-baqarah : 148)
Kedua: Kenapa kita harus menyegerakan untuk mengqodho’ puasa?
1.   Karena ini adalah merupakan utang terhadap Allah Azza Wajalla, maka harus sesegera mungkin kita bayar dan tunaikan, lebih-lebih lagi jika puasa yang kita qodho’ itu cuma beberapa hari (1,2,3,4,5 atau 6 hari).
2.   Karena kita tidak tau kapan Allah mematikan kita atau mencbut nyawa kita. Sehingga kita menghadap Allah tanpa memiliki utang. Atau menghadap Allah dengan semua kewajiban telah kita tunaikan.
3.   Dengan kita segerakan membayar utang-utang kita terutama utang pada Allah Rabbul Izzati maka berarti kita akan termasuk golongan yang betul-betul menjaga hak-hak Allah, sehingga kita akan akan termasuk orang-orang yang diridhoi oleh Allah.




172.  Hukum Mengakhirkan Qodho' Puasa Sampai Ramadhan Selanjutnya
Dalam hal pelaksanaan qodho' manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
Pertama: kelompok yang menyegerakan diri didalam mengqodho' puasanya. Baik itu karena ia ingin segera puasa syawal sehingga ia ingin meraih pahala disisi Allah 'Azza wajalla, seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam dalam hadirtsnya.
Kedua: kelompok yang menunda-nubda qodho' puasanya (tanpa udzur syar'i) hingga datang Bulan Ramadhon selanjutnya.
Hali ini tidak dibenarkan dalam islam. Tidak boleh bagi seseorang menunda-nunda qodho' puasanya. Orang yang  menunda qadha puasanya sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya, wajib baginya meng-qadha puasanya dan membayar fidyah tiap hari satu mud atau kurang lebih 1 liter beras dan kewajiban ini berulang setiap datang bulan Ramadhan semasih ia belum meng-qhada puasanya
Sesuai dengan hadist Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam yang diriwayatkan dari Abi Hurairah ra “Siapa yang datang baginya Ramadhan dan tidak berpuasa karena sakit, lalu ia tidak meng-qhada’ puasanya sampai datang ramadhan berikutnya, maka wajib berpuasa ramadhan yang baru datang dan meng-qadha’ puasa ramadhan yang lewat dan memberi makan orang miskin setiap hari” (Ad-Darquthni dengan sanad dhaif dan dikuatkan dari fatwa 6 shahabat Nabi saw yaitu, Ali, Husen bin Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah dan Jabir Radhiallahu ‘anhum)
Ketiga: kelompok yang menunda-nubda qodho' puasanya (karena udzur syar'i) sampai sebelum bulan ramadhon. Maka ini diperbolehkan, berdasarkan hadits Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - تَقُولُ كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
Artinya: “’Aisyah Radhiyallahu ‘Anha Berkata: “Pernah aku mempunyai hutang puasa dari bulan Ramadhan, lalu aku tidak mampu mengqadhanya melainkan di dalam bulan Sya’ban, yang demikian itu karena keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (HR.Muslim no 2743).
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalny rahimahullah mengomentari hadits ini:
وَيُؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذَلِكَ فِي شَعْبَان أَنَّهُ لا يَجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يَدْخُلَ رَمَضَان آخَرُ اهـ
Dan diambil pelajaran dari semangatnya ‘Aisyah radhiyallalhu ‘anha untuk mengqadhanya di dalam bulan Sya’ban, Bahwa Tidak Boleh Mengakhirkan Qadha Sampai Masuk Ke Dalam Ramadhan Yang Lain.” Lihat kitab Fath Al Bary ketika mengomentari hari di atas.




173.   Hukum Mengqodho’ Puasa Yang terlupakan Sehari Atau Lebih
Apabila seorang tidak melakukan puasa selama satu hari atau lebih di bulan Ramadhan, kemudian dia lupa mengqadhanya kecuali setelah sepuluh tahun atau lebih (atau kurang dari itu), maka ia harus segera mengqodho’nya karena itu merupakan utangnya pada Allah yang harus ia bayar, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى ».
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhumaa: Datang seseorang pada Nabi Shollallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata: Wahai Rasulullah (Shollallahu 'Alaihi Wasallam), Sungguh ibuku wafat dan ia mempunyai hutang puasa satu bulan, apakah aku membayarnya untuknya?, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam menjawab: kalau seandainya ibumu memiliki utang (kepada manusia) apakah kamu akan membayarnya? Laki-laki itu menjawab: “Betul, Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: " Dan Hutang pada Allah Subuhanahu Wata'ala lebih berhak untuk ditunaikan” (H.R Bukhari: 233, 234 dan Muslim no 2750)
Di samping membayar puasa, dia juga harus memberi makan orang miskin sebagai penundaan shiyam yang ia lakukan, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan. Memberikan makan orang miskin ini disebabkan karana penundaan shiyam yang dilakukan olehnya, sedangkan shiyamnya (qadha shiyam) adalah untuk membebaskan diri dari kewajiban yang termasuk salah satu rukun dari rukun Islam, yaitu shiyam (puasa).[2]


([1]) Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392
[2]  Al-Muntaqa Min Fatawa fadilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan jilid 3/133-134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar