36. Hukum Wanita Hamil Dan Menyusui Ketika
Puasa Ramadhan
wanita hamil wajib untuk berpuasa, begitupun
wanita yang menyusui. semua mereka termasuk dalam khitob allah yang terkandung
didalam Q.S Al-baqarah ayat 183.
hanya saja apabila wanita hamil atau menyusui
khawatir dengan keadaan bayinya atau dia tidak kuat untuk berpuasa maka islam
memberikan keringanan kepadanya untuk berbuka dan tidak berpuasa. Rasulullah Shollallahu
'Alaihi Wasallam Bersabda:
« إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ
وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ
الصِّيَامَ ».
Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala meletakkan puasa dan
seperdua shalat dari seorang musafir dan (meletakkan) puasa dari wanita yang
hamil atau menyusui”. (H.R Tirmidzi 715, Nasa’I 2274, Abu Daud 2408, Ibnu
Majah 1667. Imam Tirmidzi mengatakan hadits anas bin malik al-ka’biy adalah
hadits hasan).
Dan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam Bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ ، حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ
، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ سُفْيَانَ ، عَنْ أَيُّوبَ عَنْ سَعِيدِ
بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَوِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ الْحَامِلُ
وَالْمُرْضِعُ تُفْطِرُ ، وَلاَ تَقْضِي
Artinya: Dari Ibnu Abbas atau Ibnu Umar ia berkata: Wanita
hamil dan menyusui ia berbuka (memberi makan orang miskin) dan tidak
mengqodho'.(H.R. Darul quthni no 2384)
Perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama adalah
jika wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa, apakah wajib atasnya mengqadha’ ataukah
cukup baginya membayar fidyah saja?
Jawabanya adalah:
ini
perbedaan pendapat ulama:
Pertama: Ibnu
Abbas, Ibnu Umar dan Said bin Jubair menyatakan diperbolehkannya membayar
fidyah saja tanpa harus mengqodha'. ini berdasarkan atsar yang kami sebutkan
diatas.
Kedua : Jika ia khawatir puasa
dapat membahayakan kesehatan anaknya saja dan tidak membahayakan dengan
kesehatannya sendiri, maka:
-
Imam Syafi'I
berkata: boleh tidak berpuasa dan wajib
mengqadha'. Selain itu, sebaiknya juga membayar fidyah.
-
Imam Hanafi berkata:
harus qadla dan tidak diperbolehkan membayar fidyah saja.
Faedah:
kadar
atau takaran fidyah yaitu satu mud
(makanan pokok setempat) untuk satu hari. Jadi jika seseorang meninggalkan puasa sebanyak 7 hari, ia mempunyai tanggungan 7 mud. Satu mud sama dengan 675 gram, atau yang
mencukupi dua kali makan satu orang (sahur dan buka). Boleh juga dibayarkan
berupa uang, dihargai sesuai harga pasar setempat. tapi harus dilengkapi
dengan biaya lauk pauknya. ukuran makanan tingkat menengah.
37. Hukum Wanita Istihadhoh dibulan Ramadhon
Istihadhah adalah darah yang berasal dari urat
yang pecah/putus, yang keluarnya bukan pada masa adat haid dan nifas -dan ini
kebanyakannya-, tapi terkadang juga keluar pada masa adat haid dan saat nifas. Karena dia adalah darah berupa penyakit, maka dia
tidak akan berhenti mengalir sampai wanita itu sembuh darinya. Karena
itulah, darah istihadhah ini kadang tidak pernah berhenti keluar sama sekali
dan kadang berhentinya hanya sehari atau dua hari dalam sebulan. [Lihat:
Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas wa Al-Istihadhah hal. 16-17]
Wanita yang mengalami istihadah tidak sama
dengan yang mengalami haid atau nifas. karena darah istikhadhoh adalah darah
penyakit. maka itu tidak menjadikan wanita untuk merasa takut atau ragu untuk
ibadah seperti puasa haji dan sebagainya. bahkan tidak boleh baginya untuk
meninggalkan ibadah hanya karena mengalami istihadhoh, ini berdasarkan sabda
rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam :
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ أَبِي رَجَاءٍ قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ قَالَ : سَمِعْتُ
هِشَامَ بْنَ عُرْوَةَ قَالَ : أَخْبَرَنِي أَبِي ، عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ سَأَلَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ
إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ فَقَالَ : لاَ, إِنَّ
ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ
تَحِيضِينَ فِيهَا ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي.
Artinya: “ Dari Aisyah Radhiyallahu Anha,
sesungguhnya Fatimah binti abi hubaisy bertanya kepada rasulullah shollallahu
alaihi wasallam: sesungguhnya saya istihadhoh, maka saya tidak suci, apakah
saya harus meninggalkan shalat? maka rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam
menjawab: Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat (pada rahim) yang terbuka, akan
tetapi tinggalkan shalat seukuran engkau biasa mengalami haid kemudian mandilah
(haid) dan shalatlah (HR. Al Bukhari no 306, 320, 331, 228).
jadi, wanita yang istihadahoh tetap harus
melaksanakan shalat, puasa dan haji serta yang lainya: juga boleh digauli oleh
suaminya.
Wanita Yang Mengalami Istihadah Ada Tiga
Keadaan :
Pertama: Dia Memiliki Massa Haid Yang Jelas
Sebelum Istihadhah.
Maka kondisi yang seperti ini dikembalikan
kepada masa haidnya yang sudah diketahui pada massa sebelum dia istihadhah dan
di luar hari hari yang biasa dia mengalami haid, berlaku padanya hukum wanita
yang istihadhah.
Fatimah bintu Abi Hubaisy berkata: wahai
Rasulullah sesungguhnya aku mengalami istihadhah dan tidak pernah suci. Apakah
aku harus meninggalkan shalat? beliau menjawab:
“ Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat (pada
rahim) yang terbuka, akan tetapi tinggalkan shalat seukuran engkau biasa
mengalami haid kemudian mandilah (haid) dan shalatlah (HR. Al Bukhari).
Kedua:Tidak Memiliki Kebiasaan Haid Yang Jelas
Sebelum Istihadhah.
Apabila dia tidak memiliki kebiasaan haid yang
jelas sebelum dia mengalami istihadhah, karena istihadhah itu berlangsung terus
menerus sejak awal keluar darah darinya.
Maka pada kondisi yang seperti ini dia beramal
dengan perbedaan kondisi darah yang keluar tersebut. dimana haidnya
diperhitungkan dengan kondisi darah yang berwarna kehitaman, atau kental atau
baunya yang dengan itu berlaku padanya hukum – hukum haid. Adapun jika cirinya
tidak seperti itu maka di hukumi darah istihadhah sehingga berlaku padanya hukum
– hukum istihadhah. Hal ini berdasarkan sabda nabi kepada Fatimah bintu Abi
Hubaisy :
Artinya: “ jika darah itu haid, maka
sesungguhnya darahnya kehitaman dan dikenali. Jika demikian kondisi darahnya
maka tahanlah dirimu dari melakukan shalat. Sedangkan jika kondisi darahnya
tidak demikian , maka berwudhulah dan shalatlah karena sesungguhnya itu
hanyalah dari urat (rahim) yang terbuka (HR. Abu Dawud dam An Nasa’I dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim)
pada sanad dan matannya hadist ini ada kelemahan,
akan tetapi para ulama telah beramal dengan hadist tersebut. dan yang demikian
lebih utama daripada mengembalikan hukum wanita yang kondisinya seperti ini
kepada adat / kebiasaan keumuman wanita.
Ketiga:
Seorang Yang Tidak Memiliki Masa Haid Yang Jelas Juga Dan Tidak Ada
Perbedaan Kondisi Perbedaan Darah Yang Jelas Pula.
Seperti seorang yang mengalami istihadhah terus
menerus sejak pertama kali keluar darah, sedangkan sifat darahnya sama atau
sifatnya kacau, sehingga tidak mungkin di hukumi sebagai darah haid. Kondisi
ini di berlakukan padanya kondisi haid keumuman wanita.
Contoh dalam masalah ini : seorang melihat
darah terus keluar pada hari kelima bulan tersebut. kemudian darah terus keluar
tanpa ada perbedaan sifat darah yang jelas untuk bisa dihukumi sebagai darah
haid, tidak dari sisi warnanya tidak pula yang lainya. Maka haid dihitung
setiap bulan selama enam atau tujuh hari. Dalilnya adalah hadist Hamnah bintu
Jahsyin dia berkata :
“Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku mengalami istihadhah banyak sekali. Bagaimana menurutmu? Aku
telah terhalang dengan sebab itu dari menuaikan shalat dan puasa”. Beliau
berkata : “aku akan tunjukan padamu untuk mengetahuinya. Gunakan kapas untuk
menutup kemaluanmu karena dia akan menutup aliran darahmu” dia berkata : darah
tersebut terlalu deras. Kemudian di hadist tersebut Nabi bersabda :
“sesungguhnya darah tersebut tendangan – tendangan syaitan, maka massa haidmu
enam atau tujuh hari berdasarkan ilmu Allah Ta’ala. Kemudian mandilah jika
engkau melihat dirimu sudah bersih (dari haidmu) dan berpuasalah” (HR.Ahmad,
Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menshahihkannya. Di nukilkan bahwasannya Imam
Ahmad menshahihkanya dan Al Bukhari menghasankannya)”
38. Hukum Perempuan Yang Minum Pel Agar
Terlambat Haid Di Bulan Ramadhon
Haram hukumnya
menggunakan pel atau obat ramuan untuk mencegah haid datang pada waktunya. atau
untuk terlambat haid. dalil keharamanya adalah:
Pertama: Menyalahi ketentuan Allah. haid merupakan kelaziman
bagi wanita dewasa yang normal, dan sudah menjadi ketentuan Allah, datang
sesuai dengan yang telah ditentukan Allah, maka jika ada yang sengaja
menjadikanya terlambat dari kebiasaan waktu datangnya, sungguh ia telah
menyalahi qodrat Allah Azza Wajalla, Rasulullanh Shollallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
وَحَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ
عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى
الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ
وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ
الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. رواه البخاري ( 315 ( ومسلم ( 335 (
Artinya: Dari Mu'adzah
Radhiyallahu Anha ia berkata, Aisyah Radhiyallahu Anha pernah ditanya “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’
puasa dan tidak mengqadha’ shalat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah
kamu dari golongan Haruriyah? “ Aku menjawab, “Aku
bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab, “Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat”. (HR. Bukhari
315 dan Muslim no. 335)
kedua: Rasulullah
Shollallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah menyuruh para istrinya atau para
istri orang-orang yang beriman untuk meminum obat terlambat haid ketika
ibadah-ibadah penting, seperti haji atau puasa. bahkan Rasulullah Shollallahu
'Alaihi Wasallam menjelaskan pad mereka bahwa itu termasuk sunnatullah untuk
kaum hawa, dan bagi merka yang datang haid atau nifas, diberi keringanan khusus
dalam beribadah. seperi tidak bolehnya sholat dan puasa, juga tawaf. seperi
yang dijelaskan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam dalam haditsnya:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ ، عَنِ
الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : خَرَجْنَا مَعَ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : لاَ نَذْكُرُ إِلاَّ الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا
سَرِفَ طَمِثْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا أَبْكِي
فَقَالَ مَا يُبْكِيكِ قُلْتُ لَوَدِدْتُ وَاللَّهِ أَنِّي لَمْ أَحُجَّ الْعَامَ
قَالَ لَعَلَّكِ نُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ ذَلِكَ شَيْءٌ كَتَبَهُ
اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ
تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي.
Artinya: “Kami
keluar (dari Madinah), tidak ada yang kami tuju kecuali untuk berhaji. Maka
ketika kami berada di tempat yang bernama Sarif, aku haid. Rasulullah SAW masuk
menemuiku yang ketika itu sedang menangis. Maka beliau bersabda : ‘Ada apa
denganmu, apakah engkau ditimpa haid?’ Aku menjawab : ‘Ya.’ Beliau bersabda :
‘Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang Allah tetapkan atas anak-anak
perempuan keturunan adam. Kerjakanlah sebagaimana layaknya orang berhaji. Akan
tetapi, janganlah engkau melakukan thawaf di Baitullah.’ (HR. Bukhari no. 305
dan Muslim no. 1211)
Ketiga:
menimbulkan mudhotar bagi kesehatan wanita itu sendiri. dijelaskan oleh para
ulama kedokteran bahwa minum obat terlambat haid bias menimbulkan gangguan
didalam kesehatan wanita itu. maka hal ini jelas dilarang oleh Rasulullah
shollallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ ، عَنْ
عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله
عَليْهِ وسَلَّمَ : لاَ ضَرَرَ وَلاَ إِضْرَارَ.([1])
Hadits ini menunjukkan bahwa semua bentuk
perbuatan yang membahayakan harus dihilangkan dan tidak boleh di kerjakan,
karena Rosululloh mengungkapkannya dengan bentuk penafian, yang mencakup
semua bentuk perbuatan yang membahayakan. (Lihat Al Wajiz
hal : 252)
“Hadits ini mencakup semua
bentuk perbuatan yang membahayakan, karena kalimat dengan bentuk nakiroh kalau
jatuh setelah lafadl penafian menunjukkan keumuman.” (Lihat Faidlul
Qodir 6/431)
Syaikh
Ibnu Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mendapatkan haid di bulan yang
mulia ini, tepatnya sejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan
Ramadhan, jika saya mendapatkan haid maka saya akan kehilangan pahala yang amat
besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haid karena saya telah bertanya
kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haid itu tidak membahayakan
diri saya?
Beliau menjawab: “Saya katakan kepada
wanita-wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haid di bulan
Ramadhan, bahwa haid yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haid itu
mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur’an dan ibadah-ibadah
lainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar
dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haid : “Artinya : Sesungguhnya haid
itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum wanita”. Maka kepada
wanita ini kami katakan, bahwa haid yang dialami oleh dirinya adalah suatu yang
telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan
janganlah menjerumuskan dirinya ke dalan bahaya, sebab kami telah mendapat
keterangan dari beberapa orang dokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah
kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan
kemungkinan pil-pil tersebut akan memperburuk kondisi janin wanita hamil.”
Jadi, hukum minum pel
atau obat terlambat haid adalah haram, baik itu dibulan ramadhon ataupun diluar
bulan ramadhan. wallahu a'lam
([1]) Ibnu Majah no 2341, Baihaqi
10/133, Ahmad 1/313, Daruquthni
4/228, Hakim
2/57 dan beliau mengatakan shohih menurut syarat Imam Bukhori Muslim dan disepakati
oleh Imam
Dzahabi, Malik 2/745, Abu
Dawud dalam Marosil hal : 44 dan lainnya dengan sanad hasan
dari jalan beberapa sahabat Rosululloh diantaranya adalah Ubadah
bin Shomith, Ibnu Abbas, Abu
Sa’id al Khudri, Abu Huroiroh, Jabir
bin Abdillah, Aisyah, Tsa’labah
bin Abi Malik al Qurodli dan Abu Lubabah Rodliyallohu anhum
ajma’in. (Lihat Takhrij hadits ini secara lengkap dalam Jami’
Ulum wal Hikam oleh Imam Ibnu Rojab hadits no : 32)
-
Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al-Qawini
(Ibn Majah) Sunan Ibn majah, Dar al-Fikr, (Bairut), (tth), Juz VI, h. 88
-
Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid Ibn Majah al-Qawini
(Ibn Majah) Sunan Ibn majah, Dar al-Fikr, (Bairut), (tth), Juz VI, h. 88
-
Abu ‘Abd Allah Ahmad bin Hanbal (Ahmad Bin Hanbal), Musnad
Ahmad bin Hanbal, al-Maktabah al-Islami, Bairut 1398 H=1978 M, Juz VII, h.
95
-
Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abi Âmir bin Amru bin Al
Harits bin ghailân bin Hasyat bin Amru bin Harits (Malik), Sunan Imam Malik,
Dar al-Fikr, (Bairut), (tth), Juz VI, h. 93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar